Tampilkan postingan dengan label sjsn. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sjsn. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Juni 2014

, , , , , , , , , , , , ,

Menerawang Kartu Indonesia Sehat-nya Jokowi

Siapa yang mampu menjelaskan apa itu Kartu Indonesia Sehat (KIS)? Apa bedanya dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan?

Saat ini, mungkin hanya Pak Joko Widodo yang mampu menjawabnya. Tidak ada penjelasan komprehensif tentang KIS. Kalau pun toh ada keterangan, itu pun sangat sedikit. Semalam dalam debat Capres, Pak Jokowi telah menunjukkan bentuk kartu KIS. Namun tidak ada penjelasan yang jelas, apa dan bagaimana KIS nanti.
Untuk sedikit mengerti apa itu KIS, saya mengajak anda mempelajari sedikit petunjuk atau sinyal yang dikirimkan oleh Jokowi atau tim suksesnya.

Dalam kampanye di Tasikmalaya, Jokowi menyampaikan bahwa :

  1. Sistem Kartu Indonesia Sehat, lanjutnya, mengadopsi milik Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang sudah berjalan di Jakarta

  2. Kartu Indonesia sehat adalah penyempurnaan dari sistem BPJS Kesehatan


Poempida (Timses Jokowi) menyatakan bahwa dengan adanya Kartu Indonesia Sehat, program BPJS akan lebih mudah diterapkan tentunya. Masyarakat tinggal membawa kartu, tanpa persyaratan muluk. Timses Jokowi lainnya, Rieke Dyah Pitaloka, menambahkan bahwa Kartu (KIS) ini tidak terpengaruh domisili pengguna namun untuk nasional.

Mengutip pernyataan Pak Nizar Shihab (Pansus BPJS DPR) menyitir pendapat Pak Surya Chandra (Timses Jokowi) bahwa baik dalam program BPJS maupun KIS, masyarakat diwajibkan masuk asuransi dan membayar iuran. Untuk masyarakat kurang mampu, kata Nizar, pemerintah akan membiayainya dengan APBN. Dengan kata lain, kata pak Nizar, BPJS dan KIS sama saja, capres Jokowi hanya memberi nama baru saja.

Jika kita amati seksama, beberapa petunjuk diatas, sedikit bisa terkuak apa itu KIS sebagaimana disampaikan Pak Nizar bahwa Kartu Indonesia Sehat (KIS) hanyalah nama baru dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
KIS bukanlah sistem jaminan kesehatan sosial yang baru sebagaimana yang digembar-gemborkan Pak Jokowi. Sinyalemen bahwa KIS hanyalah kemasan nama baru dari JKN diperkuat dengan pernyataan Pak Jokowi sendiri bahwa KIS mengadobsi Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diterapkan di Jakarta selama Jokowi menjadi Gubernur 1,5 tahun ini. Ini semakin jelas bahwa modus KIS sama dengan KJS.

Untuk lebih jelasnya, mari kita bedah sedikit apa itu KJS? Sukseskah di Jakarta?

Fakta 1, KJS bukan produk baru. Begitu dilantik Gubernur, Jokowi memberi nama program Jamkesda dan SKTM yang sudah dijalankan oleh gubernur Fauzi Bowo menjadi Kartu Jakarta Sehat. Jamkesda dan KJS sama-sama diperuntukkan untuk orang miskin, menggunakan APBD, dan sistem Paket Pelayanan Esensial (PPE).

Fakta 2, KJS mengadobsi sistem pembiayaan JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Ketika pertama dijalankan, KJS menggunakan sistem diagnosa penyakit dan pembayaran dengan PPE sebagaimana dijalankan Jamkesda. Karena Jokowi hanya mensyarakatkan cukup dengan KTP untuk mendapatkan layanan KJS, maka terdapat eforia penduduk Jakarta mendapatkan layanan kesehatan di Rumah Sakit. Akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran APBD sehingga Pemda sempat menunggak Rp 355 milyar kepada rumah sakit. Untuk menghindarkan membengkaknya APBD, maka Pemda mengalihkan sistem pembiayaannya dengan pembiayaan INA CBGS (Kementerian Kesehatan) yang digunakan untuk JKN.

Fakta 3, KJS tidak mencakup seluruh penduduk Jakarta. Dari data jumlah penduduk yang harus ditanggung KJS sebanyak 4,7 juta penduduk, ternyata Pemda KJS baru menjangkau 2,3 juta penduduk. Dan sejumlah 2,3 juta penduduk itulah yang saat ini diintegrasikan dengan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Ditambah penduduk miskin sebanyak 1,2 juta yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Bagaimana sisanya? Coba tanya ke Pak Jokowi deh.

Fakta 4, Jakarta tidak memiliki sistem rujukan regional kesehatan. Persoalan utama membludaknya pasien di rumah sakit adalah sistem rujukan kesehatan di pelayanan primer dan rujukan yang tidak berjalan. Namun faktanya, sampai saat ini tidak ada Peraturan Gubernur yang mengatur bagaimana sistem rujukan kesehatan regional sebagaimana dihimbau oleh Kementerian Kesehatan. Di satu sisi, Rieke (timses Jokowi) mengatakan portabilitas, tetapi ternyata Jakarta yang dijadikan model KIS saja tidak mempunyai regulasi sistem rujukan regional.

Fakta 5, Jakarta perlu peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Ada fakta menarik, bahwa selain rumah sakit daerah, diwilayah Jakarta banyak disokong oleh banyak sekali Rumah Sakit Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan). Seperti kita ketahui, RSCM, RS Persahabatan, RS Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Dharmais dan lain-lain, merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional dengan fasilitas lengkap. Namun itu pun tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan yang bersifat intensif dan severity level tingkat lanjut seperti NICU, ICCU, PICU. Artinya, ini ada persoalan yang lebih mendasar dari sekedar merubah JKN menjadi KIS. Jika di ibukota negara saja fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan, bagaimana dengan wilayah lain di Indonesia?

Fakta 6, KJS hanya setingkat Provinsi sedangkan JKN tingkat Nasional. Jamkesda atau penggantinya KJS dilaksanakan hanya dengan Keputusan Gubernur. Tentu cukup membutuhkan kebijakan dan keputusan  selevel Gubernur saja dalam pelaksanaannya. Sedangkan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dilaksanakan dengan landasan UUD 1945 dan seperangkat Undang-Undang (SJSN, SJSN). Undang-Undang dibentuk dengan persetujuan DPR yang tentu saja bukan perkara mudah mengubah suatu kebijakan.

Itu sedikit fakta tentang KJS. Sementara fakta lain di sisi JKN sudah sangat menggembirakan. Mari kita lihat sedikit.

Fakta 1, Rumah sakit mengalami surplus balance. Ketika muncul pertama kali, JKN diisukan akan membangkrutkan rumah sakit. Tarif INA CBGS dikabarkan terlalu rendah. Faktanya, setelah bulan Februari klaim rumah sakit masuk, ternyata rata-rata 96 persen rumah saki mengalami surplus balance. Dengan kata lain, rumah sakit untung. Karena ternyata tarif INA CBGs banyak yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif RS selama ini.

Fakta 2, Jumlah Peserta JKN tahun 2014 melampaui target. Menurut peta jalan JKN, bahwa pada akhir tahun 2014 ini, jumlah peserta JKN adalah 121 juta penduduk. Ternyata terhitung sejak bulan Juni ini sudah tercatat Rp 123 juta penduduk. Itu sudah termasuk lebih dari 2 juta penduduk dengan kepesertaan mandiri.

Fakta 3, Sistem INA CBGs pelayanan kesehatan menjadi semakin efektif. Sistem INA CBGs adalah sistem paket pelayanan dalam diagnosa penyakit. Ini berbeda dengan pelayanan fee for service, dimana biaya didasarkanp ada setiap tindakan kesehatan. Dengan sistem INA CBGs rumah sakit dan tenaga kesehatan diharuskan efektif tanpa mengurangi mutu layanan.

Fakta 4, JKN terus disempurnakan. Sudah banyak peraturan dan kebijakan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka perbaikan sistem JKN ini. Tarif INA CBGs dan Kapitasi pun sudah diperbaiki. Lambat laun pun rakyat Indonesia semakin menyadari betapa besarnya manfaat dari JKN ini.

Dari penjelasan diatas, baik dari petunjuk tentang KIS disampaikan pak Jokowi dan tim, juga paparan fakta-fakta atas KJS dan JKN tersebut, apa yang dapat anda simpulkan? Mungkin kesimpulan kita sama, apa urgensi dari Kartu Indonesia Sehat ini?

Sejauh ini, belum ada diferensiasi KIS atas JKN. Cukuplah, KJS menjadi bukti cara kerja Pak Jokowi bagaimana KIS ini ke depan. Kesimpulannya, sepertinya KIS hanya nama baru dari JKN.

Kamis, 12 Juni 2014

, , , , , , , , ,

Membantah Pernyataan Jokowi Bahwa BPJS Kesehatan Adaptasi KJS

Saya kutipkan berita online Kompas berjudul," Jokowi Mengaku Tak Tahu Bedanya Kartu Indonesia Pintar dengan BPJS Kesehatan", sebagai berikut:
"Program kartu Jakarta sehat juga telah diadaptasi oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam skala nasional dan dinamakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai awal tahun 2014.
Lalu, apa bedanya konsep kartu Indonesia sehat dengan BPJS Kesehatan?
Saat ditanyakan hal itu, Jokowi pun menjawab lugu. "Saya nggak tahu," katanya sambil tersenyum saat ditemui usai berkampanye di hadapan para nelayan di Medan Labuhan, Sumatera Utara, Selasa (Kompas,10/6/2014)"

Bagi saya ada 2 hal menarik dalam berita diatas:

Pertama, untuk kesekian kalinya Jokowi mengklaim bahwa program Kartu Jakarta Sehat diadaptasi menjadi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan. Ini memunculkan persepsi seakan-akan JKS adalah cikal bakal JKN. Atau JKN meniru program KJS.

Yang kedua yang menarik adalah Jokowi tidak bisa membedakan antara program JKN atau BPJS Kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat, salah satu program prioritas visi misi Jokowi-JK.

Sebagai rakyat Indonesia yang menaruh perhatian pada dunia kesehatan khususnya Jaminan Kesehatan Nasional, saya merasa terpanggil tanggung jawab sosialnya untuk menanggapi berita ini.

Ada kekacauan logika berfikir dalam penulisan berita tersebut. Pernyataan pertama mengatakan:
"Program kartu Jakarta sehat juga telah diadaptasi oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam skala nasional dan dinamakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai awal tahun 2014"

Kalimat ini mengandung makna bahwa KJS diadaptasi (baca: ditiru, cikal bakal) program BPJS Kesehatan. Jika demikian, Jokowi semestinya sangat mengerti (sekurangnya yang mendasar) apa itu BPJS Kesehatan. Bukankah BPJS Kesehatan diadaptasi dari KJS?

Namun ketika ditanya apa bedanya konsep kartu Indonesia sehat dengan BPJS Kesehatan, Jokowi senyam senyum menjawab,"Saya tidak tahu". Loh, kok bisa nggak nyambung gitu. Kalimat diawal mengklaim BPJS kesehatan adaptasi KJS, sementara Kartu Indonesia Sehat juga program prioritas Jokowi-JK jika terpilih Presiden/Wapres, tetapi mengapa tidak tahu beda keduanya? Sungguh alur pikir yang tak logis.

Baiklah, lupakan alur pikir pemberitaan (pernyataan) diatas yang tidak logis. Saya akan ceritakan secara singkat apa itu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan. Dan ada hubungan seperti apa dengan kartu Jakarta Sehat yang dibanggakan Jokowi itu.

Jaminan Kesehatan Nasional dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2014 sebagai amanat dari UU SJSN (2004) dimana seluruh penduduk Indonesia harus mempunyai Jaminan Sosial termasuk Jaminan Kesehatan. Jaminan Sosial diselenggarakan secara nasional oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Tahun 2011, lahirlah UU BPJS yang mengatur BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah penyelenggaran jaminan kesehatan yang disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

JKN berlaku di seluruh Indonesia termasuk Jakarta dengan sistem pembiayaan INA CBGS sebagai kendali mutu dan kendali biaya. Tarif INA CBGS menggunakan sistem prospective payment atau sistem paket yaitu pembayaran perawatan pasien secara paket berdasarkan diagnosis atau kasus yang relatif sama.

Sebelum JKN mulai dijalankan 1 Januari 2014, dilakukan ujicoba atau pilot project di 3 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Itulah gambaran singkat JKN, sekarang giliran sekias cerita Kartu Jakarta Sehat. Setelah resmi menjadi Gubernur Jakarta, Jokowi meluncurkan secara resmi Kartu Jakarta Sehat (KJS) bulan November 2012. KJS adalah bagian dari janji kampanye Jokowi.

Sesungguhnya KJS adalah program jaminan kesehatan bagi penduduk Jakarta yang pada Gubernur sebelumnya (Fauzi Bowo) bernama Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Bedanya, jika Jamkesda hanya menanggung sekitar 2,7 juta penduduk miskin dan tidak mampu, KJS dijanjikan menanggung seluruh penduduk Jakarta sebanyak 4,7 juta jiwa. Berbeda dengan Jamkesda yang penggunaannya harus dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM), KJS cukup menunjukkan KTP Jakarta untuk dapatkan layanan kesehatan yang nantinya ditanggung APBD Jakarta.

Baru 2 bulan berjalan, anggaran Jamkesda sekitar 700 milyar sudah ludes. Pada akhir tahun 2012, Pemda DKI Jakarta berhutang tunggakan tagihan kepada Rumah Sakit sebesar 355 milyar. Jebolnya APBD ini dapat difahami karena terjadi eforia sosiologis dan mudahnya dapatkan jaminan hanya dengan KTP Jakarta.

Janji politik terlanjur diucapkan. Popularitas dipertaruhkan. Namun APBD juga tidak bisa dibiarkan jebol terus menerus. Ketika Jokowi bertanya kepada Dinas Kesehatan, adakah cara agar pelayanan KJS bisa dilaksanakan tanpa menjebol APBD? Dinas Kesehatan menyodorkan alternatif menggunakan sistem pembiayaan INA CBGS milik Kementerian Kesehatan. Sebelumnya KJS menggunakan Paket Pelayanan Esensial (PPE), yang meskipun penghitungan secara paket namun berbeda dengan INA CBGS.

Pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan juga sedang persiapan penerapan JKN dengan sistem INA CBGS sehingga dicari daerah pilot project. Gayung bersambut, maka permintaan DKI Jakarta untuk menggunakan INA CBGs dijadikan momentum oleh Kementerian Kesehatan sebagai pilot project. Akhirnya KJS bisa berjalan dengan baik tanpa APBDnya jebol seperti sebelumnya.

Saat ini, sebagaimana amanat Undang-Undang bahwa Jamkesda diintegrasikan ke sistem JKN, maka saat ini KJS telah diintegrasikan dengan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Jumlah peserta KJS yang didaftarkan integrasikan JKN adalah 2,3 juta penduduk. Sementara 1,2 juta penduduk Jakarta ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Artinya, tidak seluruh penduduk Jakarta ditanggung KJS atau APBD Jakarta.

Dari penjelasan singkat diatas, dapat disimpulkan bahwa: TIDAK BENAR jika dikatakan program JKN atau BPJS Kesehatan diadaptasi dari kartu Jakarta Sehat (KJS). Justru sebaliknya, program KJS TERSELAMATKAN oleh sistem INA CBGS yang sejak awal merupakan sistem yang dipersiapkan untuk JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.

Sejak awal saya sudah katakan, jangan politisasi KJS. Ternyata Jokowi menggunakan kepopulerannya untuk menaikan level KJS dengan diklaim sebagai cikal bakal BPJS Kesehehatan. Sungguh terlalu!

Jadi yth pak Jokowi, apa itu program Kartu Indonesia Sehat? Sungguh terlalu jika anda menjawab, "saya nggak tahu".

Sabtu, 29 Juni 2013

, , , ,

Tarif INA CBGs Selalu Dievaluasi

Kementerian Kesehatan melalui National Casemix Center (NCC) akan terus mengevaluasi tarif INA CBG, terutama dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014 yang hanya tinggal menghitung beberapa hari lagi.

Tarif yang berlaku tahun ini merupakan tarif baru yang dimulai pada tanggal 01 Januari 2013 yaitu tarif pelayanan kesehatan di ruang perawatan kelas III rumah sakit yang berlaku untuk rumah sakit umum dan rumah sakit khusus milik Pemerintah dan Swasta yang bekerjasama dengan program Jamkesmas. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes Nomor 440 Tahun 2012.

Bahwa berdasarkan indeks harga konsumen yang dikeluarkan dari BPS, ada penetapan regionalisasi tarif. Untuk RS Umum & Khusus kelas A, B Pendidikan, B Non-Pendidikan , C dan D dijabarkan pada empat regional, yaitu regional I daerah Jawa dan Bali, regional II daerah Sumatera, regional III untuk daerah Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dan regional IV daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Dengan pertimbangan tertentu, setiap wilayah dapat menambahkan sesuai dengan kemampuan wilayahnya.

Tarif yang akan diberlakukan saat JKN sudah diprogramkan sejak dua tahun yang lalu dan bulan Juli 2013 harus sudah diproduksi tarif baru untuk tahun 2014. Perubahan tarif untuk JKN dilakukan mengingat ada konsekuensi biaya dari aktivitas yang dilakukan. Jadi harus sudah disiapkan tarif untuk JKN, salah satunya tujuh kelompok khusus dengan pembayaran terpisah. Kemudian tahun 2014 akan ada perubahan tarif baru yang akan dibuat oleh NCC dan ditetapkan oleh Kemenkes.

Perubahan juga menyangkut pada data costing, jika yang sebelumnya data costing berasal dari 100 rumah sakit. Kemudian untuk persiapan JKN 2014, data costing rumah sakit Pemerintah dan Swasta diperluas menjadi 161 rumah sakit dari berbagai kelas dan wilayah. Dengan perbaikan ini, diharapkan tarif INA CBG akan lebih baik dari sisi metodologi maupun data yang digunakan, sesuai dengan kebutuhan rumah sakit.

Sabtu, 22 Juni 2013

, , , , , ,

Inilah Manfaat Penggunaan INA CBGs Bagi Pasien dan Rumah Sakit

Sistem Casemix INA CBGs merupakan suatu pengklasifikasian dari episode perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinik yang sejenis. Case Base Groups (CBGs), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh suatu kelompok diagnosis.

Dalam pembayaran menggunakan sistem INA CBGs, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuaikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya. Bukan hanya dari segi pembayaran, tentu masih banyak lagi manfaat dengan penggunaan sistem INA CBGs.

Bagi pasien, adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan, dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan, dan mengurangi pemeriksaan serta penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien.

Manfaat bagi Rumah Sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya, dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan Rumah Sakit, dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan. Juga meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor QA dengan cara yang lebih objektif.

Rumah sakit dapat perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat. Rumah sakit juga dapat mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing klinisi, keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran, dan mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway.

Kemudian manfaat bagi penyandang dana Pemerintah (provider) dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan kesehatan, dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap masyarakat luas akan akan terjangkau, secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider/Pemerintah, dan penghitungan tarif pelayanan lebih objektif serta berdasarkan kepada biaya yang sebenarnya.

Sabtu, 15 Juni 2013

, , , , ,

Sekilas tentang INA CBGs

Pada postingan sebelumnya, saya sedikit mengulas sistem tarif yang dijalankan rumah sakit Indonesia. Disitu mulai disinggung INA CBGs. Apa sih itu?

INA CBGs merupakan kelanjutan dari aplikasi Indonesia Diagnosis Related Groups (INA DRGs). Aplikasi INA CBGs menggantikan fungsi dari aplikasi INA DRG yang saat itu digunakan pada Tahun 2008. Dalam persiapan penggunaan INA CBG dilakukan pembuatan software entry data dan migrasi data, serta membuat surat edaran mengenai implementasi INA-CBGs.

Sistem yang baru ini dijalankan dengan menggunakan grouper dari United Nation University Internasional Institute for Global Health (UNU - IIGH). Universal Grouper artinya sudah mencakup seluruh jenis perawatan pasien. Sistem ini bersifat dinamis yang artinya total jumlah CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan sebuah negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru.

Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD – 9 CM ). Mengombinasikan ribuan kode diagnosa dan prosedur tersebut, tidak mungkin dilakukan secara manual. Untuk itu diperlukan sebuah perangkat lunak yang disebut grouper. Grouper ini menggabungkan sekitar 23.000 kode ke dalam banyak kelompok atau group yang terdiri dari 23 MDC (Major Diagnostic Category), terdiri pula dari 1077 kode INA DRG yang terbagi menjadi 789 kode untuk rawat inap dan 288 kode untuk rawat jalan.
Tahun 2011, National Casemix Center Kemenkes melihat adanya ketidakcocokan tarif INA CBGs bagi rumah sakit, kemudian dilakukan evaluasi secara berkala dan menghasilkan tarif sesuai dengan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 tentang Penetapan Tarif Rumah Sakit Berdasarkan Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs). Bahwa tarif INA CBG dibagi menjadi empat regional terdiri dari regional 1 daerah Jawa dan Bali, regional 2 Sumatera, Regional 3 daerah Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan regional 4 daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Sekaligus menjelaskan tarif INA CBG dalam setiap regional menurut tipe dan kelas rumah sakit, terdiri dari tarif Rumah Sakit Umum dan Khusus Kelas A, Kelas B Pendidikan, Kelas B Non Pendidikan, Kelas C dan Kelas D, Tarif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta , Tarif RSAB Harapan Kita Jakarta , Tarif RSJP Harapan Kita Jakarta dan Tarif RS Kanker Dharmais Jakarta, Tarif RS Khusus Stroke Nasional Bukittinggi, Tarif RSKO Jakarta dan Tarif RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta.

Kemudian adanya penambahan pada 7 kelompok CBGs baru yang dibayarkan terpisah, yaitu kasus kronik, kasus sub kronik, prosedur mahal, obat mahal, pemeriksaan mahal dan prosthesis/implant yang mahal. Tentunya setiap periode tertentu dilakukan perubahan dari segi metodologinya dan akan melibatkan banyak pihak. Nantinya juga tarif akan digunakan untuk kelas III, II, dan I.

Standar nasional inilah yang digunakan untuk pengelolaan tarif Jamkesmas, maka penerapan INA CBGs ini mengharuskan rumah sakit untuk melakukan kendali mutu, kendali biaya dan akses. Sehingga rumah sakit bisa lebih efisien terhadap biaya perawatan yang diberikan kepada pasien, tanpa mengurangi mutu pelayanan. Dengan demikian, tarif dapat diprediksi dan keuntungan yang diperoleh rumah sakit pun dapat lebih pasti.

Sabtu, 08 Juni 2013

, , , , , , ,

Beginilah Sistem Tarif Rumah Sakit Indonesia

Ini hanya sebagai contoh kasus. Seorang pasien, sebut saja A, menjalani perawatan selama lima hari di rumah sakit. Setelah dinyatakan sembuh, biaya perawatan pasien tersebut sebesar Rp 5 juta rupiah. Ada juga, pasien B dengan diagnosa yang sama dirawat pada rumah sakit lain selama sepuluh hari. Biaya pengobatan dan perawatannya sebesar Rp 6 juta. Kedua pasien tersebut mendapatkan pelayanan kelas III, namun tarifnya berbeda.

Kemudian contoh lain. Ada pasien sakit demam berdarah dirawat di sebuah rumah sakit. Beberapa hari menjalani pengobatan dan perawatan. Pada pukul 7 pagi, perawat menginformasikan bahwa pasien sudah boleh pulang. Namun tetap harus menunggu dokter yang merawatnya yang direncanakan akan melakukan kunjungan pada siang hari. Hingga jam tujuh malam, dokter belum melakukan kunjungan dan pemeriksaan terakhir sehingga pasien tertunda kepulangannya. Akibatnya, pasien atau keluarga harus menanggung bertambahnya biaya perawatan.

Kedua contoh diatas menggambarkan kondisi variasi tarif rumah sakit pada diagnosa penyakit dan kelas perawatan yang sama. Juga tidak efisiennya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit. Bicara tentang tarif, saat ini sebagain besar rumah sakit menggunakan sistem fee for services. Dimana rumah sakit mengenakan biaya pada setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada. Besarnya biaya pengobatan dan perawatan tergantung pada setiap tindakan pengobatan dan jasa pelayanan yang diberikan rumah sakit.

Sementara itu khusus untuk pasien jamkesmas, rumah sakit di seluruh Indonesia telah menggunakan sistem tarif prospektif secara paket. Besaran tarif sudah ditentukan didasarkan pada diagnosa penyakit. Demikian juga, tindakan dan obat yang mesti digunakan telah ditentukan. Besar tarif tetap atau konstan, apapun dan berapapun tindakan medis yang dilakukan. Sistem paket tarif ini disebut INA CBGs.

Pasien dapat tahu besaran dan jumlah biaya sebelum semua pelayanan dengan didasarkan pada  diagnosis atau kasus-kasus penyakit yang relatif sama. Dengan kata lain, rumah sakit tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG.

Kementerian Kesehatan telah melaksanakan sistem INA CBGs untuk program Jaminan Kesehatan Masyarakat (jamkesmas) sejak tahun 2010. Hingga saat ini Tahun 2013, INA CBGs telah digunakan dalam klaim Jamkesmas pada sebanyak 515 RS Swasta dan 747 RS Pemerintah. Tarif ini diberlakukan untuk perhitungan biaya klaim bagi jamkesmas yang dirawat atau mendapat layanan kesehatan di rumah sakit penerima Jamkesmas.

Kamis, 23 Mei 2013

, , , , , ,

Jangan Politisasi KJS

Kartu Jakarta Sehat (KJS) adalah janji politik. Sebagai sebuah janji politik, KJS tak lepas dari pencitraan dan popularitas. Dan ketika janji politik telah direalisasikan maka menjadi komoditas politik yang bisa dikemas sesuai kepentingannya. Karena masuk area politik, maka menutup kemungkinan terjadi politisasi KJS dimana berebut sisi kelebihan dan kekurangan KJS guna diambil keuntungan bagi diri dan golongannya.

Pada era Fauzi Bowo sudah berjalan program bantuan kesehatan bagi penduduk Jakarta yang tidak mampu. Dengan Surat Keterangan Tidak Mampu, warga bisa mendapatkan pelayanan berobat di puskesmas dan rumah sakit dengan biaya ditanggung APBD. Kemudian Joko Widodo, sebagai calon gubernur, menawarkan program Kartu Jakarta Sehat.

Sesungguhnya secara prinsip tidak beda dengan program SKTM. Namun harus diakui Jokowi membuat kemasan yang lebih baik dan populis. Bentuk kepersertaan dengan kartu dan bagi yang belum punya kartu KJS cukup dengan menunjukkan KTP Jakarta. Dampaknya luar biasa, KJS dipersepsikan "sesuatu yang baru".

Jokowi dan Ahok pun menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Janji politik harus ditunaikan. Tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan infrastruktur dan sistem pelayanan kesehatan, KJS diluncurkan. Puskesmas dan Rumah Sakit menerima tsunami kunjungan pasien. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan petugasnya menjerit kelebihan beban. Namun bisa apa? Puskesmas dan rumah sakit yang tak mampu melayani pasien akan dicap menolak pasien yang berarti melawan opini publik. Diperkuat pula dengan pernyataan Jokowi sebagai Gubernur bahwa tunggakan klaim di RS adalah warisan SKTM sebelumnya. Popularitas Jokowi dan Ahok memang pada posisi tertinggi dan secara politik sulit tergoyahkan, sehingga kebijakannya, meski ada kekurangan, KJS harus dijalankan.

Sekitar 3 bulan, rumah sakit di Jakarta melayani pasien-pasien KJS. Bulan april ini, program KJS dijalankan bekerjasama dengan PT Askes dengan sistem INA CBGs. Sesungguhnya sistem INA CBGs dimaksudkan agar terjadi efektivitas dan efisiensi pelayanan sehingga terjadi kendali mutu dan kendali biaya. Sistem INA CBGs yang prospective payment diharapkan mengubah perilaku rumah sakit dan tenaga kesehatan dan tentu saja pasien.

Namun Jakarta sudah terlanjur terlalu lama pada zona nyaman pelayanan rumah sakit dengan sistem fee for service. Maka ketika INA CBGs dengan sistem paket menggantikannya pada program KJS, 16 rumah sakit swasta (belakangan menyusut menjadi 2 RS) berontak mundur dari KJS. Ini luar biasa. Bagaimana mungkin secara terang-terangan ada RS Swasta "melawan" kebijakan Gubernur Jakarta yang popularitasnya masih tinggi?

Karena KJS adalah produk politik, maka isu ini pun terangkat secara politis. Pihak yang awalnya tiarap menunggu momentum, seakan saat ini menemukan saat tepat. Mereka komentar, mengecam dan nyinyir atas program KJS dan INA CBGs. Alih-alih turut mencari solusi, perdebatannya pun tidak pada substansi penyebab mundurnya 16 RS Swasta.

Bahkan lawan politik Jokowi Ahok di Jakarta menggalang interpelasi bahkan pemakzulan, meski dengan alasan yang lemah dan tidak substansial. Sementara anggota DPR menyinyir jika kasus yang terjadi KJS ini merupakan gambaran gagalnya Jaminan Kesehatan Nasional 2014. Kesimpulan yang terlalu gegabah. Tapi itulah, politik adalah bagaimana anda memanfaatkan momentum utl pencitraan, popularitas dan elektabilitas.

KJS adalah janji politik yang kemudian menjadi produk politik. Namun sesungguhnya terdapat agenda politik yang lebih luhur bagaimana penduduk Jakarta dan rakyat Indonesia memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. Dan itu bisa dicapai dengan sistem jaminan kesehatan dengan kendali mutu, kendali biaya dan berkeadilan bagi semua. Jadi hentikan politisasi KJS!

Jumat, 10 Mei 2013

, , , , ,

Mengapa JKN 2014 Berprinsip Gotong Royong?

1 Januari 2014 tinggal esok hari. Sejak itu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai berlaku. Amanat Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Hal yang membedakan dengan jaminan kesehatan di beberapa negara lain, JKN menggunakan sistem asuransi sosial dengan prinsip gotong royong. Ini artinya adanya kebersamaan, sinergi dan substitusi iuran antara kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan mudan serta yang beresiko tinggi dan rendah.

Ada pembelajaran dari ASKES, betapa urgensinya prinsip kegotongroyongan. Contoh kasus ada dalam paparan sosialisasi JKN yang disampaikan Pak Usman Sumantri, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes yang terkait dengan pasien Guillian Barre Syndrome (GBS). Masihkan kita ingat dengan kasus GBS yang menghebohkan pertengahan 2011 lalu?

Menurut data Askes, besarnya unit cost per kasus pasien GBS sebesar Rp 900 juta rupiah dengan angka kejadian kurang dari 1 orang dari 15 juta peserta Askes. Jika besarnya biaya ini ditanggung oleh pasien yang bersangkutan, tentu saja sangat berat. Bahkan tidak akan tertutupi dengan premi yang rutin dibayarkan. Namun jika ditanggung iuran dengan prinsip gotong royong, maka iuran peserta Askes yang dikeluarkan adalah 1/15.000.000 x Rp 900.000.000 yaitu Rp 60 perorang pertahun. Atau Rp 5 setiap orang perbulan.

Bandingkan dengan pengobatan influenza. Unit cost sakit Flu Rp 20.000 per kasus. Berdasarkan pengalaman Askes, frekuensi peserta Askes terkena flu adalah sekali setahun. Dengan demikian premi untuk menjamin flu adalah 1/1 x Rp 20.000 yaitu Rp 20.000 per orang per tahun atau Rp 1.650 setiap orang perbulan.

Inilah contoh kasus betapa pentingnya prinsip gotong royong dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional terutama dalam kasus penyakit yang memerlukan biaya pengobatan dan perawatan kesehatan yang sangat besar.

Jumat, 07 Desember 2012

, , , , , , ,

SJSN: Ada Apa 1 Januari 2014?

Catat baik-baik tanggal ini, 1 Januari 2014. Mulai tanggal itu, seluruh rakyat Indonesia harus memiliki jaminan sosial. Berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, Sistem Jaminan Sosial Nasional secara bertahap wajib diikuti oleh seluruh WNI yang berjumlah sekitar 240 juta dan WNA yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan. Harapannya, universal coverage melalui sistem asuransi sosial tercapai oada tahun 2012. Khusus bagi masyarakat miskin dan hampir miskin dijamin Pemerintah.

Tujuan utama SJSN adalah memberikan akses dan  kemudahan kepada seluruh penduduk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu yang efektif, efisien, berkeadilan, transparan dan portabilitas. SJSN memberikan jaminan pada paket benefit dasar. Artinya menjamin semua kebutuhan dasar kesehatan dan berindikasi medis. Yang bersifat kosmetik dan sekunder tidak dijamin sistem ini.   Saat ini, penyediaan dan pengelolaan asuransi masih sangat bervariasi baik dibawah pengelolaan pemerintah maupunswasta. Yang tercover jaminan masih berasal dari sektor formal (swasta dan pemerintah) dan masyarakat miskin melalui Program JAMKESMAS. Hal ini masih terjadi marjinalisasi bagi penduduk yang berasal dari sektor informal. Tercatat pada tahun 2011 terdapat 87 juta jiwa penduduk (36,87%) belum memiliki jaminan kesehatan.

Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menjamin masyarakat yang miskin dan tidak mampu melalui Program Nasional JAMKESMAS dengan mengkover 76,4 juta jiwa. Bahkan, dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, beberapa daerah sudah mengembangkan sendiri sistem Universal Health Coverage dengan paket benefit (JAMKESDA) tertentu yang bervariasi tiap daerah DAN MENGCOVER LEBIH DARI 30 juta penduduk miskin dan hampir miskin.

Pemerintah telah melakukan pembenahan sistem dan penyiapan menyongsong Universal Health Caverage tahun 2014, terutama berfokus pada perbaikan infrastruktur kesehatan, pembenahan sistem rujukan, pemutakhiran sistem informasi, transformasi kelembagaan (PT Askes menjadi BPJS) penyiapan anggaran (penetapan besaran premi bagi PBI dan non PBI), serta penyiapan regulasi. Seiring dengan penyiapan kelembagaan BPJS tersebut, Pemerintah meningkatkan cakupan kepesertaan (dikenal sebagai PBI penerima bantuan iuran dari pemerintah) bagi masyarakat miskin dan hampir  miskin dari 76,4 juta jiwa pada tahun 2012 (32%). Pada tahun 2013 menjadi 86,4 juta jiwa dan 96,4 juta jiwa pada tahun 2014.  

Terkait dengan penyiapan infrastruktur, pemenuhan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit di Indonesia cukup memadai. Dari 2080 RS, sebagian besar rumah sakit (60,7%) merupakan rumah sakit milik swasta dan 39,3% merupakan rumah sakit pemerintah. Dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa (2010) Indonesia memiliki total keseluruhan tempat tidur RS mencapai 230.459 sehingga cukup aman bila menggunakan standar ratio pemenuhan TT 1:1000 penduduk (standar WHO).  

Namun perlu dilakukan pemetaan kembali distribusi dan tingkat utilisasi fasilitas kesehatan yang ada. Karena Indonesia memiliki kondisi geografis yang sulit. Terdiri dari +17 ribu pulau/kepulauan, pegunungan sehingga banyak titik-titik dimana akses pelayanan kesehatan sulit dijangkau terutama di garis pantai (klaster 4), kepulauan terluar dan perbatasan, serta pedesaan. Informasi tentang fasilitas kesehatan dapat dilihat di website  www.buk.depkes.go.id. Dari pemenuhan pelayanan kesehatan dasar saat ini Indonesia memiliki 9.437 Puskesmas termasuk 3.028 Puskesmas Perawatan. Dari data tersebut,masih membutuhkan sekurangnya-kurangnya 433 Puskesmas terutama bagi Kecamatan yang belum memiliki Puskesmas.  

Beberapa strategi quick wins Pemerintah dalam pemenuhan fasyankes  yaitu menyediakan tempat tidur tambahan 13.000 pada tahun 2012, mendirikan RS bergerak dan RS Pratama (Community Hospital) di lokasi yang membutuhkan. Juga melaksanakan regionalisasi sistem rujukan kesehatan yang berjenjang dengan penguatan pelayanan primer (Puskesmas) sebagai penapis pelayanan (gatekeeper). Pemerintah mengembangkan pelayanan telemedicine pada bidang-bidang tertentu yang membutuhkan dokter ahli seperti teleradiologi, tele-ECG maupun telekonsultasi, melaksanakan flying health care pada pada lokasi yang sangat terpencil.  

Secara kualitas, masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan belum memenuhi standar input (sarana-prasarana dan alat) sehingga secara kasar, kebutuhan/usulan pemenuhan sarana-prasarana dan alat tahun 2012 mencapai angka 26 triliyun rupiah (2,8 Billion USD). Jumlah ini sangat besar dan hampir sama dengan anggaran total kesehatan tahun 2012. Strategi pemenuhannya diantaranya melalui sharing biaya antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta meningkatkan peran dankontribusi sektor swasta serta melakukan tahapan berbasis prioritas, khususnya utk DTPK dan cluster IV. Bidang kesehatan Indonesia termasuk sangat terbuka masuknya investasi asing dimana kepemilikan modal asing terbuka hingga 67%.

Dalam hal mutu dan biaya pelayanan kesehatan, Pemerintah telah menerapkan sistem pembayaran pola kapitasi untuk tingkat daar dan pola DRG untuk tingkat rujukan. INA-CBG berbasis casemix sejak tahun 2009 dengan segala penyempurnaannya sehingga diharapkan dapat mendorong peningkatan efektifitas dan mutu pelayanan kepada pasien. Sistem ini tengah dilakukan peninjauan dan pemutakhiran variabel input sehingga dapat menghasilkan output/tarif yang lebih memadai sebagai dasar pembayaran UHC tahun 2014. 

Selain itu, penjaminan mutu pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui kebijakan akreditasi pada rumah sakit (+70%) dan dimulai penyusunan akreditasi untuk Puskmesmas. BPJS selaku pengelola asuransi sosial akan melakukan credentialing kembali kepada fasyankes yang belum terakrediatasi.   Dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM/dokter spesialis, Pemerintah melakukan upaya percepatan kelulusan melalui Program PDSBK (crash programme), dimana dokter spesialis sudah dapat dikirimkan/terjun ke lokasi yang membutuhkan berdasarkan kompetensi tertentu yang telah dikuasai. Untuk program jangka pendek, adalah memberikan kewenangan tambahan kepada dokter umum melalui pelatihan khusus. Saat ini telah lulus 312 dokter PDSBK dan 77 dokter dengan kewenangan tambahan.  

Salah satu tantangan Kementerian Kesehatan adalah melakukan advokasi dan negosiasi besaran dana kesehatan dengan DPR dan Kementerian Keuangan. Saat ini persentase anggaran kesehatan dibandingkan total APBN hanya 2,1%,dengan GDP sekitar 2,4%. Dengan usulan premi/iuran SJSN Kesehatan sebesar Rp 22.000 - Rp 27.000 maka diharapkan akan ada peningkatan anggaran kesehatan.