Tampilkan postingan dengan label pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pemilu. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Oktober 2016

, ,

SARA DAN SOLIDARITAS SOSIAL MANUSIA DALAM PEMILU/PILKADA

Ini tulisan serius bernuansa politis. Tidak disarankan dibaca oleh orang yang bersikap "hater" atau "lover" calon pemimpin tertentu.

---

SARA DAN SOLIDARITAS SOSIAL MANUSIA DALAM PEMILU/PILKADA

Setiap orang cenderung memposisikan dirinya pada kelompok terdekatnya. Seseorang cenderung lebih utamakan memihak dan membela orang terdekatnya; keluarga dan kelompoknya. Artinya, kita ingin keluarga kita lebih sukses dibandingkan keluarga lain.

Dalam berteman atau mencari teman hidup, kita juga cenderung memilih suku dan agama yang sama. Demikian juga dalam berorganisasi dan berpolitik, kita juga cenderung memilih yang se-aliran, se-agama, se-kelompok dan se-kepentingan.

Itu pula yang terjadi dalam perspektif pemilu atau pilkada. Orang Jawa cenderung memilih calon pemimpin dari suku Jawa, Batak cenderung Batak, Betawi cenderung Betawi. Orang berfaham nasionalis bersentimen pada partai/calon nasionalis, orang Kristen berorientasi pada calon Kristen dan Islam condong pada calon pemimpin beragama Islam.

Apakah kecenderungan, sentimen, kecondongan dan kelebihmemilihan itu salah? Tidak sama sekali. Itu sunnatullah. Hukum alam, alamiah. Itulah yang disebut "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia.

Yang salah adalah keinginan kelompok kita menang itu menjadi dasar untuk membenci kelompok atau orang lain. Yang tidak dibenarkan adalah  keinginan memenangkan calon pemimpin yang seagama, sesuku dan sekelompok dengan cara-cara hitam tercela. Misalnya dengan ujaran kebencian, menghujat, diskriminatif, menjelekkan, memaksakan atau bahkan dengan ancaman dan kekerasan.

Kembali kepada "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia sesuai hukum alam diatas dikaitkan dalam pemilu dan pilkada. Jika Muslim mengajak saudara muslim lain memilih calon pemimpin Muslim itu bentuk persaudaraan Muslim yang diajarkan Islam. Itu hak dan kewajiban sebagai muslim. Tentu saja dibenarkan. Yang salah dan dilarang bagi muslim adalah membenci, menjelekkan mengancam dan melakukan kekerasan kepada calon pemimpin karena beragama Kristen, Hindu atau Budha.

Demikian pula kaum Kristen menghimbau jamaahnya memilih calon pemimpin beragama Kristen itu juga bentuk solidaritas sosial. Yang wajib dijauhi orang kristen adalah memaksakan kehendak kepada orang Islam, hindu atau Budha agar memilih calon pemimpin orang Kristen.

Termasuk dalam isu sara dalam kampanye adalah jika orang muslim yang memasuki wilayah agama kristen, Hindu, budha. Atau sebaliknya orang Kristen mencampuri area agama Islam, Hindu dan Budha.

Jadi, sepanjang urusan sara masih dalam batasan kecenderungan yang bersifat alamiah (hukum alam) itu diperbolehkan. Tetapi isu sara yang mengandung unsur membenci, menjelekkan, diskriminatif, ancaman bahkan kekerasan, itu harus dilarang dan dijauhi.

---

Demikianlah, suasana politik hari ini (juga yang lalu dan akan datang) gaduh dengan isu Sara; suku, agama, ras dan aliran. Banyak pihak menyuarakan menjauhi isu sara dalam pilkada Jakarta. Semua orang ingin dalam kampanye, antar calon mengadu dan menjual program. Sungguh tekad dan himbauan yang baik. Tapi perlu hati-hati menilai atau menyetigma suatu hal menjadi isu sara. Sama hati-hatinya dengan berlaku cenderung sara.

Masa pemilu dan Pilkada adalah masa sensitif. Setiap orang semestinya sensitif untuk tidak berucap dan berlaku pada hal-hal sensitif. Jauhi mengeluarkan jargon atau pernyataan yang bersinggungan dengan sensitivitas. Untuk mengajak memilih calon pemimpin muslim, Anda tak boleh mengkafir-kafirkan calon non muslim. Untuk memenangkan calon dari suku Jawa, Anda dilarang mencina-cinakan calon pemimpin keturunan tionghoa.

Demikian pula kelompok lain yang ingin memenangkan calon pemimpin beragama Kristen misalnya. Tidak perlu menggaungkan jargon "biar kafir tidak korupsi, daripada Muslim korupsi". Atau "biar kafir asal adil". Kenapa? Karena soal korupsi dan adil bukan dilihat karena agamanya apa. Dan kata "kafir" itu identik dengan istilah Islam. Ini memasuki area "isu sara".

---

Dalam setiap pertandingan semua pihak berlomba untuk menang. Demikian dalam pertandingan Pilkada, setia calon dan pendukungnya juga ingin menang. Masing-masing pihak memetakan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatan itu didayagunakan, kelemahan diminimalisir. Diantara basis dukungan kekuatan dan kelemahan adalah unsur sara; terutama suku dan agama.

Bagi calon yang beragama Kristen pasti menggalang suara jamaah Kristen. Calon ini boleh gunakan ayat-ayat Injil untuk mempesona jamaah kristen. Calon agama Islam mengampanyekan memilihnya kepada kaum muslimin. Juga boleh menggunakan ayat Al Qur'an untuk kaum muslimin. Ini masuk kecenderungan "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" yang bersifat alamiah tadi. Yang tidak boleh itu dan ini isu sara, gunakan ayat Injil kepada Muslim dan ayat Qur'an kepada Kristiani.

Calon dari Jawa menggalang kekuatan dari suku Jawa, Betawi mengajak saudaranya dari betawi dan Tionghoa menggunakan sentimen keturunannya. Demikian seterusnya suku, kelompok dan aliran lainnya.

Namun sayang sekali, dalam hal meminimalisir kelemahan, tidak sedikit kelompok calon pemimpin melakukan agitasi atas kelebihan kelompok lain. Misalnya, calon pemimpin non muslim (dan pendukung) melakukan stigma isu sara kepada calon pemimpin Muslim (dan pendukung) yang gunakan ayat Qur'an untuk memilih pemimpin Muslim. Atau sebaliknya, pendukung calon islam (dan pendukung) mengkafir-kafirkan calon pemimpin Kristen.

Kelompok mayoritas tidak boleh berlaku diskriminatif terhadap minoritas. Demikian pula minoritas menghargai kelompok mayoritas tanpa melakukan perilaku tirani minoritas dan stigmatisasi sara.

Singkat kata, dalam hal pemilu/pilkada kita hormati kepada setiap orang/kelompok yang mendayagunakan kecenderungan "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia. Karena memang itu hukum alam. Sebaliknya, kita jauhi sikap dan perilaku yang mengandung ujaran kebencian, menghujat, diskriminatif, menjelekkan, memaksakan atau bahkan dengan ancaman dan kekerasan.

Namun patut dicatat bahwa "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" hanya modal awal keterpilihan calon pemimpin. Keduanya bukan syarat dan modal mutlak kemenangan pemilu dan pilkada. Kuatnya "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" tidak cukup berarti, jika calon tidak mempunyai rekam jejak dan reputasi pemimpin yang adil, anti korupsi dan perilaku mulia lainnya. Juga tidak cukup bermakna jika calon tidak punya program bagus dan mampu merebut hati pemilih.

Akhir kata, jangan menuduh orang/kelompok lain menggunakan isu sara, tapi ucapan dan perilakunya sendiri mengandung isu sara.

---
Antara Kediri - Surabaya (9/10/2016)
Bukan Hater atau Lover,
Anjari Umarjianto