Tampilkan postingan dengan label idi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label idi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 November 2013

, , , , , , , , ,

Memahami Aksi Mogok Dokter Hari Ini

Sulit untuk tidak mengatakan sebagai mogok terhadap aksi solidaritas yang dilakukan dokter hari ini. Meski dibungkus dengan istilah bahwa dokter "Tidak Praktek" kecuali pasien gawat darurat (emergensi). Sulit pula menafikan pandangan awam yang menyamakan dokter seperti buruh, karena mogok kerja memang identik dengan buruh. Karena faktanya, berdasar seruan POGI, IKABI bahkan PBIDI, dokter se-Indonesia tidak melakukan praktek alias tidak layani pasien kecuali dalam keadaan darurat. Mungkin butuh keajaiban untuk membatalkan mogok para dokter ini.

Melihat aksi solidaritas dokter ini, mari kita semua melihat dari berbagai sisi pandang. Yang pertama, tentu dari cara pandang kedokteran. Meski tidak bisa orang awam, seperti saya, mampu melihat secara detil dan teknis medis. Namun secara prinsip, cara pandang dokter dapat jadi dasar pemahaman kenapa dokter lakukan aksi mogok ini. Selanjutnya kita lihat dari sisi proses hukum, kepentingan pasien dan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Sebagaimana sudah tersebar di media massa dan media sosial, aksi solidaritas ini dilatar belakangi kasus dr A dkk di Manado. Yaitu dr. A dan 2 rekan dokter lain diduga melakukan tindakan malpraktek saat melakukan operasi seksio sesaria pada persalinan seorang ibu pada tahun 2010. Pengadilan Negeri Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah (bebas murni), namun pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan Jaksa dengan menyatakan ketiga dokter bersalah melakukan malpraktek dan dipidana 10 bulan penjara. Sementara itu, para dokter berpendapat bahwa dr A dkk tidak bersalah, karena telah melakukan upaya pertolongan dan emboli sebagai penyebab kematian pasien merupakan bagian dari risiko medis. Nah ini menarik, mari kita cermati, mengapa dokter bisa berpendapat demikian.

Dalam hubungan dokter dan pasien disebut sebagai "fiduciary relationship", hubungan kepercayaan. Hubungan dokter pasien bersifat asymetry information, dimana dokter lebih mengerti kondisi kesehatan pasien. Disisi lain secara umum pasien tidak memahami atau awam terhadap tindakan medis. Dalam posisi seperti ini, tak ada pilihan lain kecuali pasien mempercayai dokter terhadap diagnosa dan tindakan dokter atas penyakit yang diderita pasien. Namun demikian, dalam melakukan praktek kedokteran, si Dokter juga dipagari oleh sumpah dokter, etika, disiplin dan hukum. Mentang-mentang posisinya lebih tahu dibandingkan pasien, tidak serta merta dokter dapat seenaknya dalam melayani pasien. Disinilah akhirnya, hubungan dokter-pasien terjadi hubungan kepercayaan. Pasien percaya bahwa dokter berupaya menyembuhkan penyakit. Dan dokter pun percaya bahwa pasien yang datang berobat kepadanya percaya terhadap upaya pengobatan dan perawatan yang dilakukan dokter.

Dalam hukum perikatan yang mengenal prestasi dan wanprestasi, hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintenis. Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik.

Nah, disinilah pokok persoalannya. Para Dokter berpendapat bahwa apa yang dilakukan dr A dkk itu telah sesuai prosedur dan standar. Ketiga dokter itu telah memberikan tindakan penyelamatan pasien (ibu dan bayi) dengan melakukan bedah caesar. Namun tindakan dokter hanya mampu selamatnya bayi, sementara sang ibu meninggal dunia. Sebab kematian adalah emboli udara, penyumbatan pembuluh darah oleh udara yang sebabkan kegagalan fungsi paru dan selanjutnya kegagalan fungsi jantung. Dalam kedokteran, emboli konon sulit diprediksi dan susah dicegah. Itu risiko medis bukan malpraktek.

Dengan tindakan dokter dan kondisi pasien seperti tersebut diatas, mengapa dokter masih dipersalahkan? Dokter berpandangan bahwa dr A dkk tidak salah, oleh sebab itu tidak semestinya dipidana/ditahan. Jika upaya dan tindakan dokter yang sesuai prosedur dan standar tetapi mengakibatkan pasien meninggal dunia namun tetap dipersahkan, itu sama saja dengan melakukan kriminalisasi dokter. Demikian pandangan dokter, oleh sebab itu mereka melakukan aksi tolak kriminalisasi dokter dengan menjadikan kasus dr ayu dkk di Manado ini sebagai momentumnya.

Para dokter beranggapan bahwa apa yang menimpa dr A dkk berdampak secara psikologis dan sosiologis bagi dokter lain. Para dokter akan menjadi ragu-ragu, khawatir dan tidak berani ambil risiko dalam melakukan tindakan pengobatan. Dokter akan cenderung cari aman, karena kalau melakukan tindakan medis yang beresiko tinggi ada kemungkinan dipidana. Jadi dokter menganggap terhadap tindakan kedokteran tidak dapat dikenakan hukum pidana, melainkan cukup perdata. Sebab, sekali lagi, dalam kedokteran dikenal risiko medis dan kejadian tak diharapkan dimana meski sudah dilakukan tindakan kedokteran sesuai standar masih saja ada kemungkinan pasien cidera atau meninggal dunia. Oleh karenanya dalam hal ini dokter tidak melakukan kesalahan sehingga tidak pantas dihukum pidana.

Selanjutnya, mari kita lihat proses hukum dr Ayu dkk ini. Pada tahun 2010, dr A dkk melakukan bedah caesar terhadap seorang ibu yang menjalani persalinan. Bayi dapat terselamatkan, namun paska operasi sang ibu meninggal dunia. Atas kasus ini, ketiga dokter diajukan di pengadilan dengan tuntutan hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. Tapi Jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.

Karena putusan MA tersebut, ketiga dokter masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak September 2012. Dan tanggal 8 November 2013, dr A ditangkap dan ditahan. Keberatan atas keputusan dan penahanan, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dari kronologi singkat ini, dapat dilihat bahwa proses hukum masih berjalan. Dokter atau dalam hal ini pembela dr A dkk, masih dapat kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dengan mengajukan bukti-bukti baru dalam Peninjauan Kembali.

Selain proses pengajuan PK, rupanya PB POGI didukung juga PB IDi merasa perlu menggalang solidaritas dan dukungan secara luas dari kalangan dokter. Maka diserukanlah yang disebut aksi keprihatinan solidaritas para dokter dengan berbagai cara. Dari memakai pita hitam di lengan kanan, doa/tafakur, penyampaian pendapat hingga tidak praktek/tutup layanan alias mogok kerja. Aksi solidaritas ini dikemas dalam kampanye "tolak kriminalisasi dokter". Pertanyaanya, dengan proses hukum yang sedang berjalan, apa urgensi aksi solidaritas dokter ini? Apa perlu sampai mogok kerja?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita bahas tentang mogok itu sendiri. Istilah mogok kerja dapat ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh untuk menghentikan atau memperlambat kerjaan. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh sebagai akibat gagalnya perundingan. Agar sah dan tertib, dalam UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat dan tahapan mogok kerja. UU Ketenagakerjaan juga melarang kegiatan mogok kerja yang membahayakan keselamatan jiwa manusia atau mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Ada yang berpendapat bahwa dokter tidak mogok, hanya tidak praktek. Dokter tidak mogok karena masih melayani pasien gawat darurat. Pertanyaan muncul didasarkan definisi mogok, aktivitas aksi dokter ini memperlambat atau menghentikan pelayanan kesehatan terhadap pasien nggak? Jika pasien yang datang ke tempat praktek dokter atau ke rumah sakit tidak mendapat layanan kesehatan, bukankah itu bisa dikatakan kepentingan umum terganggu? Pelayanan (kerjaan) dokter menjadi terhenti, bukankah menurut UU disebut mogok?

Ada lagi yang berpendapat, dokter bukan buruh, dokter itu profesi/profesional. Karena bukan buruh dan tidak ada serikat buruh dokter, maka UU Ketenagakerjaan tidak bisa berlaku untuk dokter. Baiklah, mari kita gunakan UU lain. UU Praktik Kedokteran mewajibkan dokter
memberikan pelayanan medis sesuai kebutuhan medis pasien. Kewajiban ini berlaku kepada dokter yang telah memiliki SIP serta dalam masa jam prakteknya, untuk semua pasien, tidak membedakan pasien elektif dan emergensi. Apalagi UUPK juga mewajibkan dokter melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.

Bahkan sumpah yang diucapkan setiap kali seseoran menjadi dokter begitu mulia. Sumpah dokter akan membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan. Dokter akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan ber­moral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan. Dokter akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita. Dan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, dokter akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.

Kemudian UU Rumah Sakit mewajibkan setiap rumah sakit memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien. Juga Rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai pelayanannya. UU Kesehatan mengamanatkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Rumah Sakit dan Praktik Mandiri, melakukan pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan dengan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya. Rasanya itu sudah cukup, belum lagi jika ditambahkan hak-hak pasien terhadap pelayanan kesehatan.

Ada lagi yang berpendapat bahwa dokter tetap memberikan pelayanan kepada pasien emergensi. Pak dokter! bu dokter! Mohon bayangkan diri anda adalah pasien itu sendiri. Gambaran Pasien secara umum adalah kondisi fisik lemah, kesakitan karena penyakit, kepayahan, dan perlu bantuan orang lain. Tegakah para dokter tidak menolong orang dengan kondisi demikian? Bagaimana jika anda pasien dengan kondisi sakitnya datang ke dokter dan mendapatkan tanggapan,"maaf, hari ini kami tidak praktek!"

Mari kita bicara fakta lain. Jamak kita temui dokter terlambat memberikan pelayanan dari jam prakteknya. Semestinya klinik buka jam 8, tapi dokter datang jam 9. Tidak jarang kita ketahui, di IGD pun dokter selalu siap ditempat. Lumrah kita dapati di ruang ICU, dokternya datang setelah dipanggil (on call) karena sedang praktek di tempat lain. Jika dalam jam praktek belum tentu dokter melayani tepat waktu. Jika dalam keadaan normal saja, dokter tidak selalu siap ditempat melayani pasien emergensi. Bagaimana dalam keadaan mogok kerja? Apakah pasti siap melayani pasien emergensi?

Dokter juga mengatakan bahwa kondisi pasien tidak mudah diprediksi. Pasien elektif bisa mendadak emergensi. Pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi sakit biasa, juga bisa mendadak harus segera ditolong. Bagaimana jika dalam kondisi itu, Dokter sedang bersama-sama aksi solidaritas atau sedang tafakur di rumah. Siapa yang menolong pasien?

Bagi setiap orang/pasien, dokter adalah "dewa penolong". Itu juga berlaku bagi keluarga, ketika melihat upaya sungguh-sungguh dokter dalam mengobati pasien. Bahkan ketika pasien itu meninggal dunia, keluarga pun akan ikhlas menerima sepanjang mereka menyaksikan upaya dan kesungguhan dokter selamatkan nyawa. Maka banyak ditemukan, anggota keluarga pasien yang marah atau menuntut dokter adalah keluarga yang tidak ada didekat pasien. Singkatnya, pasien dan keluarga akan menganggap dokter adalah pahlawan yang berusaha selamatkan pasien. Bagaimana jika karena dokter sering lakukan aksi bahkan mogok, masyarakat menganggap dokter juga seperti masyarakat biasa seperti lainnya. Dokter bukan lagi dianggap dewa penolong, melainkan anggota masyarakat biasa yang bekerja mencari uang sebagai dokter. Jika demikian, jangan salahkan banyak orang miskin yang tak punya uang memilih ke dukun atau pengobatan alternatif yang bertarif seikhlasnya.

Kita telah bicarakan dari dari sisi dokter, aspek hukum dan bagaimana pasien memandang dokter. Dari sekilas uraian ini, kita sangat hargai aksi solidaritas dokter dengan cara pakai pita hitam, doa keprihatinan dan tafakur. Kita harus tolak segala bentuk kriminalisasi, oleh sebab itu kita dukung "tolak kriminalisasi dokter". Tapi semestinya dokter tetap buka praktek dan melayani pasien baik elektif maupun emergensi. Dengan berpraktek, dokter bisa memakai pita hitam dan diawali dengan doa keprihatinan bersama. Siapa tahu dengan pita hitam, pasien bertanya-bertanya, tersadarkan dan berempati kepada dokter.

Alih-alih tujuan tercapai, mogok justru memperburuk citra dokter. Mogok bisa dipersepsikan wujud ego dan keangkuhan profesi dokter terhadap masyarakat lain meskipun di mata hukum semua sama. Istilah fikih, mogok mudharatnya jauh lebih banyak dibandingkan manfaatnya. Oleh sebab itu, energi aksi solidaritas lebih efisien digunakan untuk menyusun strategi dan mengumpulan bukti baru dalam proses Peninjauan Kembali. Semangat solidaritas profesi dokter dikristalkan dengan mengindentifikasi pasal-pasal Undang-Undang dan KUHP yang merugikan praktek dokter untuk diujikan materiil ke Mahkamah Konstitusi. Dan seluruh kekuatan aksi dokter ini bisa diarahkan kepada upaya mencerdaskan pasien sekaligus membangun hubungan dokter-pasien yang lebih komunikatif dan empatif.

Pada bagian akhir, kita sangat mendukung himbauan Kementerian Kesehatan agar aksi solidaritas dokter ini dilakukan dengan tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien seperti biasanya. Toh, untuk apa semua hal ini kita lakukan, selain derajat kesehatan rakyat Indonesia lebih baik.

Sabtu, 05 Oktober 2013

, , , , , , , , ,

6 Kesalahan Dinkes Tangsel Dalam Penggunaan Dokter Asing

Gara-gara dokter asing, Kota Tangerang Selatan heboh jadi bahan berita. Puluhan dokter berunjuk rasa memprotes keberadaan dokter asing yang melakukan tindakan medis di RSUD Tangerang Selatan. Akibat unjuk rasa tersebut, Kepala Dinas Kesehatan memecat 5 dokter kontrak. Sementara itu, Direktur RSUD Tangsel membubarkan Komite Medik rumah sakit.

Menurut kabar terbaru, Direktur RSUD Tangsel sudah diberhentikan dan dimutasikan ke Provinsi Banten. Untuk mengisi kekosongan, Kadinkes Tangsel merangkap menjadi pejabat sementara Direktur dan Ketua Komite Medik rumah sakit.

Apa sesungguhnya yang salah dengan keberadaan dokter asing di Tangerang Selatan ini? Saya mencoba identifikasi kesalahan Tangerang Selatan dalam mendayagunakan dokter asing.

1/ Dokter asing tidak punya Surat Tanda Registrasi

Setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran harua memiliki surat izin praktik (SIP)dari Dinas Kesehatan setempat. Salah satu syarat izin praktik adalah Surat Tanda Registrasi yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Demikian juga untuk Dokter Asing yang menjalankan praktik kedokteran harus memiliki SIP dan STR. Meskipun punya "surat izin transfer of knowledge" yang ditandatangani Kadinkes Tangsel, 2 dokter Malaysia praktik di RSUD tersebut terbukti belum memiliki STR dari KKI.

2/ Surat Izin Kadinkes Tangsel Cacat Hukum.

Berdasarkan penjelasan Kadinkes Tangsel bahwa Dinkes telah mengajukan STR kepada KKI. Namun selama 14 hari STR tidak keluar sehingga Kadinkes mengeluarkan "surat izin transfer of knowledge' dengan dasar hukum Perda No. 8 Tabun 2010 tentang retribusi daerah. Dari penjelasan tersebut, Kadinkes memberlakukan kesalahan dalam logika hukum, landasan yuridis dan penerapan hirarki peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks pendayagunaan dokter asing sudah sangat jelas dan detil diatur oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil dan Keputusan Konsil. Dengan peraturan-peraturan diberlaku asas lex specialis derogat legi generalis, dimana peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan umum. Penerapan dasar hukum UU Pelayanan Publik dan Peraturan Daerah jelas tidak tepat, apalagi kedua peraturan tersebut tidak menyebut sama sekali substansi dokter asing.

3/ Salah kaprah antara pelayanan medis dengan transfer of knowledge.

Dalam Permenkes yang mengatur pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing bahwa dokter asing dibedakan menjadi dokter asing pemberi pelayanan dan pendidikan alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Kedua kategori itu mempunyai  persyaratan, teknis tindakan medis dan STR berbeda. Jika dokter asing melakukan tindakan medis kepada pasien umum di rumah sakit maka itu disebut pemberi pelayanan. Dokter asing alih ilmu pengetahuan hanya dilakukan pada kasus sulit yang tidak dapat ditangani dokter setempat atau adanya metode baru.

Sementara itu, kedua dokter malaysia itu melakukan pelayanan tindakan medis kepada pasien RSUD Tangsel namun dikatakan sebagai transfer of knowledge.

4/ Kompetensi Dokter

Menurut para dokter yang melakukan unjuk rasa dan IDI setempat, tindakan medis yang dilakukan 2 dokter asing itu juga bisa dikerjakan dokter lokal dan bukan metode baru.

Untuk STR Sementara,  kolegium yang bersangkutan akan melakukan evaluasi dan verifikasi kompetensi dokter asing di negaranya. Sementara kedua dokter asing tersebut masih belum jelaa kompetensinya karena proses pengajuan STR tidak tuntas.

5/ Pasport dan Visa

Berdasar informasi yang saya dapat bahwa izin keimigrasian pasport dan visa kunjungan biasa bukan untuk kerja. Padahal visa kunjungan tentu berbeda dengan visa kerja. Apakah bisa dikatakan penyalahgunaan visa, tentu perlu ditelusuri lebih lanjut.

6/ Rumah Sakit Tidak Punya Izin Penggunaan Dokter Asing

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit yang mendayagunakan dokter asing harus memiliki rencana pendayagunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dan izin memperkerjakan tenaga asing (IMTA) dari Kementerian Tenaga Kerja. Selain itu dokter asing hanya dapat melakukan pendidikan alih ilmu pengetahuan pada rumah sakit pendidikan atau bekerjasama dengan RS Pendidikan. Faktanya, RSUD Tangsel bukan RS Pendidikan atau kerjasama dengan RS Pendidikan.

Itulah 6 kesalahan yang dilakukan Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dalam pendayagunaan dokter asing.