Tampilkan postingan dengan label perawat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perawat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 September 2013

, , , , , ,

RUU Keperawatan: Kemenkes Mencari yang Baik

"...berkurangnya DIM tidak mengakibatkan lebih buruknya hasil atau pengaturan. Dimasukkannya Kebidanan juga tidak mengurangi substansi norma Keperawatan"

Saat ini RUU Keperawatan tengah dibahas antara DPR dengan Pemerintah. Dalam suatu kesempatan ngobrol dengan Prof Budi Sampurna (Staff Ahli Menkes Bidang Medicolegal), saya pernah tanyakan beberapa hal terkait RUU Keperawatan. Saya tuliskan beberapa hal yang dapat saya rangkum seperti dibawah ini :

Prof, benar nggak sih tudingan Kemenkes tidak berperan dalam RUU Keperawatan?

Dari awal, RUU Keperawatan itu dicanangkan sebagai inisiatif DPR. Oleh sebab itu peran Pemerintah dilakukan dengan memberikan masukan pada saat Rapat Dengar Pendapat. Beberapa kali kita diundang oleh DPR maupun DPD untuk memberikan masukan. Saya kira ada perannya, tetapi tidak dalam arti inisiatif pembahasan.

Benarkah Kemenkes terlambat ajukan DIM RUU Keperawatan?

Pemerintah baru terima RUU Keperawatan tanggal 18 Februari dan Ampres (Amanat Presiden) bulan April. Kemudian kita menyusun DIMnya (Daftar Infentarisasi Masalah) masih dalam batas waktu 2 bulan atau agak lebih sedikit.

Ada opini yang dibangun bahwa usulan memasukkan Kebidanan itu hidden agenda Kemenkes hambat RUU Keperawatan. Pendapat Prof?

Saya kira Bu Menkes sudah berkali-kali tegaskan, Pemerintah tak ingin menggagalkan RUU Keperawatan. Tidak ada niat juga mendiskriminasi antara perawat dan bidan. Kita ingin dua-duanya sama berhasil. Kesempatan yg baik pada pembahasan RUU Keperawatan, alangkah baiknya sekaligus substansi kebidanan juga dimasukkan. Toh, masih sama dalam satu rumpun. Meskpun tugas fungsinya berbeda.

Hal yang sama juga kita lakukan pada UU Praktek Kedokteran terhadap kedokteran gigi, berada dalam satu. Kalau ada yang mengatakan dalam UU Kedokteran itu sama-sama dokter. Bukan, di luar negeri tidak pernah kita kenal dokter gigi itu sebagai dokter gigi. Tetapi dentist. Itu berbeda dengan dokter. Tetapi kita coba cari persamaanya. Demikian juga pada waktu kita membahas RUU Pendidikan Kedokteran di Komisi X. Itu pun kita cari persamaannya. Meskipun bedanya banyak, tetapi kita cari persamaannya. Dan memang berhasil kita melakukan itu.

Gimana teknis penggabungan menjadi RUU Keperawatan dan Kebidanan?

Ini yang kita mohon. Jika dapat disepakati bisa kita bahas RUU Keperawatan dan Kebidanan, idenya adalah mencari persamaanya. Kita sudah melakukan itu dalam DIM RUU kita inventarisasi persamaan. Bedanya hanya satu kok!. Yaitu pada waktu praktek. Praktek perawat tentu saja beda denang praktek bidan. Itu yg kita bedakan dalam 2 Bab yang berbeda.

Perubahan DIM RUU Keperawatan itu disebabkan penambahan substansi. Juga adanya penyesuaian substansi oleh karena ada Undang-Undang baru yaitu UU Pendidikan Tinggi dan UU Pendidikan Kedokteran. Yang kita sesuaikan modelnya dengan UU Dikdok misalnya bagaimana pendidikan keperawatan itu sejak akademik hingga profesi digabung dan seterusnya.

Begitu pula ada usulan mengubah Konsil. Itu tentu saja dapat kita bahas bagaimana jalan keluarnya. Kita memang mendapatkan surat resmi dari Menpan agar tidak membentuk lembaga baru. (Dalam hal Konsil) kemudian dari Kemendikbud saat ini juga berproses RUU Keinsiyuran. Tadinya disana juga diusulkan ada konsil, kemudian mereka bersepakat tidak ada konsil tetapi menguatkan organisasi profesi. Tetapi silahkan kita dapat kembangkan dalam pembahasan kita untuk cari jalan keluar terbaik.

Yang penting dicatat, berkurangnya DIM tidak mengakibatkan lebih buruknya hasil atau pengaturan. Dimasukkannya Kebidanan juga tidak mengurangi substansi norma Keperawatan. Saya cenderung untuk saat ini mari kita bahas bersama-sama lebih dahulu untuk melihat, sebetulnya apakah substansinya lebih buruk atau lebih baik. Tentu kita semua mencari yang baik.

Jumat, 30 Agustus 2013

, , , , , , , , , ,

Menkes: Tidak Sedikit pun Berfikir Menolak RUU Keperawatan

“Saya kok curiga pemerintah ada niatan menghambat lahirnya UU (Keperawatan) ini,” ujar Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR pada Rapat Kerja bersama Pemerintah (28/8/2013).

Pernyataan politisi PDIP itu, tidak begitu mengagetkan. Beberapa anggota Komisi IX menyatakan hal yang relatif senada bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mempersulit penetapan RUU Keperawatan menjadi Undang-Undang. Pendapat ini setali tiga uang dengan organisasi keperawatan PPNI, yang sudah berkali-kali menggiring opini bahwa Kemenkes menghalang-halangi pengesahan RUU Keperawatan. Bahkan bisa jadi pernyataan anggota DPR ini juga disebabkan tekanan luar biasa yang dilakukan oleh organisasi profesi keperawatan ini melalui berbagai forum bahkan melalui banyak aksi demonstrasi.

Usulan Pemerintah agar dimasukannya kebidanan dalam RUU Keperawatan semata-mata didasari selain pada rumpun tenaga kesehatan yang sama juga alasan efisiensi dan efektifitas. Jika dilihat pasal per pasal Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tidak ada norma yang hilang. Khususnya, dalam hal pendirian Konsil dan Kolegium, Menteri Kesehatan menjanjikan untuk dibahas bagaimana baiknya demi kemanfaatan bersama.

Dalam raker tersebut, Ibu Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan mewakili Pemerintah, mendengarkan secara seksama pernyataan para anggota DPR yang cenderung menuduh Kemenkes tak pro RUU Keperawatan Kesehatan.

“Saya ucapkan terima kasih. Pertama saya menghargai anggota DPR yang terhormat sudah membahas RUU Keperawatan dengan mendalam dan cukup lama,” dengan tenang Menkes mengawali tanggapannya.

Kemudian Ibu Nafsiah Mboi melanjutkan dengan bercerita saat awal menjadi Menkes.

“Saya kaget, baru pada bulan April terima ampres tetapi Mei saya dibanjiri lebih dari 1000 sms tanpa nama. Kata-katanya sangat kasar. Terus terang malu sebagai seorang menteri dikasari begitu. Saya tidak tahu siapa, tetapi mengatasnamakan diri perawat. Sms itu menyalahkan menkes, kenapa RUU Keperawat tidak dibahas. Padahal Kita selalu menghormati perawat, menghormati bidan. Tidak ada masalah bagi kami, sama pentingnya”, kata Menkes dengan sungguh-sungguh.

“Oleh karena itu saya mohon supaya miss komunikasi diantara kita itu hilang. Kami tidak sedikit pun berfikir menolak RUU Keperawatan. Kami menyatukan (RUU Keperatan & Kebidanan) demi efisiensi. Juga sekaligus efektifitas. Oleh karena itu benar kata salah seorang anggota DPR, justru dalam menyiapkan Jaminan Kesehatan Nasional dan pencapaian MDGs, kita membutuhkan dua-duanya,” tegas Menkes.

“Saya undang PPNI dan PB IDI. Dan saya minta secara terbuka menjelaskan apa sebenarnya masalahnya. Keperawatan bilang perlu pengakuan luar negeri. Kebidanan mengatakan, kami juga menghadapi hal yg sama. PPNI mengatakan kami membutuhkan perlindungan hukum, bidan mengatakan kami juga. Lalu saya mohon kepada perawat dan bidan, bagaimana jika kita bersatu saja. Kita butuh bersatu. Pekerjaan kita besar sekali. Bagaimana kalau bersatu, bikin satu undang-undang”, jelas Menkes dengan mantab tanpa ragu.

Menkes mengambil jeda sejenak. Seluruh orang yang hadir, seakan terkesima dengan pernyataan Menkes. Anggota Komisi IX DPR pun tak melakukan interupsi seperti yang biasa dilakukan.

“Sekali lagi, jika boleh saya tegaskan. Tidak ada sedikit pun keinginan dari kami untuk membeda-bedakan, mendiskriminasikan perawat dan bidan. Sama sekali tidak. Juga tidak sedikit pun, tidak dalam hati kami ingin meniadakan usaha atau upaya anggota dewan yang terhormat. Sama sekali tidak.

Bapak ibu anggota dewan yth, percayalah kami ingin yang terbaik. Betul, percaya kepada saya. Tidak ada keinginan untuk tidak menghargai siapa-siapa. Hanya mengingat kebutuhan di lapangan. Kita membutuhkan tenaga perawat dan bidan, saling mendukung, saling bekerjsama dan mempunyai dasar hukum yg disepakati oleh semua,” ujar Menkes menutup tanggapannya. Akhirnya pembahasan RUU Keperawatan dilanjutkan pada rapat kerja selanjutnya.

Apakah mereka percaya dengan Menteri Kesehatan? Ahh..!

 

Minggu, 20 Januari 2013

, , , , , , , ,

Jadilah Pasien yang Berani Bicara

Kita masih bicara tentang malpraktik medik. Pada postingan sebelumnya, kita tekankan bahwa dugaan malpraktik itu dilihat dari proses perbuatannya bukan pada hasil akhir. Dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta dikatakan malpraktik. Itu bisa disebut sebagai kejadian tak diharapkan (KTD).

Kejadian tak diharapkan ini banyak sekali macamnya, dari yang ringan hingga fatal. Lain waktu kita bisa diskusikan apa dan bagaimana KTD. Saat ini kita bicara, bagaimana supaya tak terjadi cidera, KTD dan dampak buruk lain dalam proses pengobatan di rumah sakit. Yang paling tahu dan mampu mencegah itu tentu saja dokter dan tenaga kesehatan lainnya, peralatan, standar prosedur, teknologi dan fasilitas lainnya rumah sakit. Namun sesungguhnya sebagai pasien, kita pun dapat sangat berperan mencegah terjadinya cidera atau kejadian tak diharapkan lainnya.

Bagaimana caranya? Jadilah pasien yang berani bicara. Ungkapkan apa yang semestinya diutarakan. Tak perlu malu apalagi takut. Katakan kepada dokter, perawat dan siapa pun yang terlibat dalam pengobatan dan perawatan kita. Dengan berani bicara, pasien sangat membantu mencegah terjadinya kekeliruan tindakan dan mendapatkan perawatan terbaik.

Apa saja yang harus berani kita katakan? Jangan sungkan ungkapkan apa yang kita rasakan dan tanyakan apa yang dialami. Tak perlu merahasiakan riwayat sakit kita, ungkapkan semuanya kepada dokter. Karena itu bermanfaat untuk menentukan amamnesa dan diagnosa. Dan jangan takut bertanya informasi sejelas-jelasnya dengan penyakit yang menyerang tubuh kita.

Kemudian beranikan bertanya tentang rencana pengobatan yang akan kita dapatkan. Jika diperlukan ada tindakan medis, kita harus jelas jenis tindakan dan resikonya. Sebelum tindakan dilakukan, pastikan kita mendapatkan informed consent. Baca semua formulir medis dengan teliti dan pastikan kita memahami isinya sebelum menandatanganinya. Bila tidak mengerti, minta dokter atau perawat untuk menjelaskannya.

Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dengan pasien lain, biasanya perawat atau dokter melakukan proses pengecekan dan memeriksa identitas pasien. Yang benar sebelum memberikan obat atau melakukan tindakan medis, dokter atau perawat akan menanyakan nama pasien atau memerika gelang identitas.

Kekeliruan dalam pemberian obat merupakan kesalahan yang dapat terjadi dalam tindakan medis. Oleh karena itu pahami obat-obatan apa yang kita minum atau mengapa kita memakainya. Tanyakan tentang kegunaan obat-obatan yang diberikan dan informasi efek samping dari obat tersebut. Teliti kembali apakah obat yang diberikan itu betul untuk anda. Lebih baik kita tahu kapan waktu pemberian obat dan bila belum diberi obat pada waktunya, jangan sungkan menanyakan pada perawat. Kita dapat meminta bantuan untuk menjelaskan mengenai petunjuk pemakaian obat serta instruksi pemeriksaan lainnya bila anda kurang mengerti. Oh ya, katakan kepada dokter atau perawat mengenai alergi atau reaksi negatif terhadap obat-obatan yang pernah kita minum sebelumnya.

Jika kita menerima resep obat yang dituliskan dokter, pastikan kita bisa membacanya. Karena bisa jadi, jika kita tidak dapat membacanya, apoteker mungkin tidak bisa membacanya juga. Sudah tak keren lagi tulisan dokter pada resep obat yang tak terbaca.

Sebagai pasien, kita harus sadar dan paham bahwa kita sesungguhnya yang menjadi fokus utama dalam tim perawatan medis. Pasien adalah orang yang paling penting di dalam semua upaya penyembuhan sakit, bukan dokter, perawat atau peralatan medis. Untuk itu, dokter dan perawat harus menjelaskan semua informasi yang dibutuhkan pasien dengan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Dan jika belum mengerti, mintalah mengulangi menjelaskan sampai kita, pasien, benar-benar mengerti. Jangan takut juga meminta second opinion kepada dokter lain, jika belum yakin dengan tindakan atau pengobatan yang akan kita terima.

Dokter, perawat dan rumah sakit tentunya akan mengutakan keselamatan dalam perawatan kesehatan pasien. Tetapi kita sebagai pasien, bisa juga memainkan peran vital dalam memastikan agar tindakan dan pengobatan yang kita terima itu aman dan tepat. Kita harus aktif berpartisipasi meminta informasi yang benar dan jelas kepada dokter dan perawat. Untuk itu, jadilah pasien yang berani bicara agar terhindar dari kejadian tak diharapkan dalam pengobatan penyakit kita
.