Tampilkan postingan dengan label pasien miskin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pasien miskin. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 November 2013

, , , , ,

Agar Tidak Ditolak Rumah Sakit, Beginilah Semestinya Pasien Dirujuk

Bayi mungil Naila yg dikabarkan ditolak RS dan meninggal dunia di depan loket, kembali menyadarkan kita pentingnya sistem rujukan yang berjalan baik. Jika boleh berandai-andai, jika saja Naila dirujuk dengan baik dari puskemas ke rumah sakit, boleh jadi ceritanya akan lain.
Naila mengingatkan saya kepada bayi Dera di awal tahun ini. Dahulu Dera juga dikabarkan meninggal dunia setelah ditolak pasien. Namun ada kesamaan dalam dua kejadian ini, sistem rujukan pasien yang tidak berjalab semestinya. Saya pribadi, dan tentunya kita semua, tak ingin kejadian tragis ini terjadi lagi. Apalagi jika terus berulang, sungguh terlalu!

Saya ingin berbagi sedikit bagaimana semestinya rujukan pasien dilaksanakan. Rujukan pasien sebagai sebuah sistem bukan saja menjadi tanggung jawab puskesmas, rumah sakit, dokter, tenaga kesehatan, dan pemerintah. Sistem rujukan akan berjalan baik ketika pasien dan keluarga memahami bagaimana semestinya. Dengan kata lain, pasien turut andil suksesnya sistem rujukan.

Pertama yang harus kita ketahui adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. Dengan kata lain, pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan rujukan sesuai kebutuhan dan indikasi medis pasien. Hal ini penting saya tekankan agar pasien mengerti bahwa rujukan merupakan salah satu hak pasien dalam menerima pelayanan kesehatan di puskesmas, rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Dengan sudut pandang hak, pasien atau keluarga dapat secara proaktif mengkomunikasikan hak rujukan kepada dokter atau pihak Rumah Sakit.

Namun kewajiban rumah sakit dalam merujuk pasien dapat dikecualikan jika pasien dalam kondisi tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis. Ketentuan ini termuat dalam  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.

Setiap kali rumah sakit melakukan rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang. Dalam penjelasan rumah sakit terhadap pasien/keluarga sebelum merujuk sekurangnya mencakup:
a. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
b. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
c. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
d. transportasi rujukan; dan
e. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.

Kemudian rumah sakit membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan.  Dalam surat pengantar rujukan sekurang-kurangnya memuat; identitas pasien, hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan, diagnosis kerja, terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan, tujuan rujukan serta nama  dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.

Apakah penjelasan saja cukup? Belum cukup. Dalam hal keadaan pasien dalam keadaan gawat darurat, rumah Sakit harus melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai indikasi medis dan kemampuan sebelum melakukan rujukan. Hal ini harus dilakukan demi keselamatan pasien dan memungkinkan pasien ditransportasikan ke rumah sakit penerima rujukan.

Rumah sakit juga harus melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat. Dalam komunikasi tersebut, Rumah sakit penerima rujukan berkewajiban menginformasikan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan. Dan perlu diingat, pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus harus dirujuk dengan ambulans dan didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

Itulah sekelumit bagaimana cara semestinya rujukan pasien dari puskesmas ke rumah sakit atau dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Jika beberapa persyaratan dan ketentuan itu tak terpenuhi, boleh jadi kejadian ditolaknya pasien oleh rumah sakit terulang kembali. Atau tragisnya menyebabkan pasien meninggal dunia akibat terlambat ditangani. Aduh, amit-amit jabang bayi ;(

Jumat, 01 November 2013

, , ,

Belajar dari Kasus Naila, Apa yang Harus Diketahui Keluarga Pasien

Kita turut berduka cita untuk Naila, bayi mungil yang meninggal dunia sebelum mendapat perawatan di RSU Lasinrang, Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan judul "Ditolak Rumah Sakit, Bayi Meninggal di Depan Loket" pasti akan menyentuh hati siapa saja yang membaca. Merasa miris dengan pelayanan Rumah Sakit.

Muncul kesan kuat, karena prosedur berbelit-belit itulah Rumah Sakit abai terhadap pasien yang harus segera mendapatkan pertolongan. Rumah Sakit tak lagi peduli terhadap pasien miskin. Di berita lain, pasien jamkesda ini karena tak lengkap persyaratannya kemudian ditolak/tdk dilayani sehingga mengakibatkan bayi Naila meninggal dunia. Tentu kita sedih mendengarnya. Siapa pun baca berita itu akan berkesimpulan; RS tak punya empati kepada pasien miskin. Atas nama prosesur, nyawa tak terselamatkan.

Pagi tadi saya berkomunikasi dengan pihak Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan dan pihak RSU Lasinrang untuk konfirasi berita Naila ini.

Keterangan atau konfirmasi pihak RS penting untuk tahu kronologi kejadian penanganan Naila di RSU Lasinrang. Dengan begitu kita tahu informasi versi media dan versi RS sehingga informasinya berimbang.

Menurut RSU Lasinrang, bayi Naila dirujuk dari Puskesmas Lampa ditujukan ke Poli Anak untuk mendapatkan pelayanan dokter spesialis anak. Pihak puskesmas telah menawarkan untuk mengantarkan dengan ambulan, tapi orang tua memilih menggunakan mobil. Sampai klinik, mendaftar di loket.

Sebagai pasien jamkesda, setiap pasien/keluarga harus melengkapi persyaratnya diantaranya Kartu Keluarga dan KTP. Karena bayi belum punya KTP, maka diminta surat keterangan lahir. Menurut pihak RS, saat mendaftar di loket, bayi Naila berada jauh dari loket jadi tak terpantau kondisinya. Standar RS, kalau pasien yg harus segera perlu pertolongan datangnya ke IGD, bukan poli klinik. Oleh karena di klinik, dianggap pasien rawat jalan

Meski belum memenuhi syarat, karena pihak orang tua terus mendesak harua segera ditolong, RS meloloskan sebagai pasien jamkesda dan naila dibawa ke IGD. Sesampai di IGD, orang tua Naila menolak ketika dokter akan memeriksa pasien. Pihak keluarga berkesimpulan Naila sudah meninggal disebabkan kelamaan menunggu. Akhirnya Naila dibawa pulang ke rumah dengan ambulan. Innalillahi, kita semua pasti trenyuh melihat kenyataan ini.

Itulah cerita kejadian versi berita dan versi rumah sakit. Mana cerita yg benar, kita tidak tahu. Namun ada yg bisa digarisbawahin dan dicermati.

Pertama, sebelum merujuk puskesmas semestinya memberikan informasi yang jelas kepada keluarga dan RS tentang kondisi pasien, gawat darurat atau elektif. Jika pasien gawat darurat dan memungkinkan dirujuk, pasien harusnya dibawa ke IGD, bukan ke poliklinik.

Kedua, pasien tidak ditolak rumah sakit, tetapi masih dalam proses daftar di poliklinik. Sekali lagi, klinik diperuntukan pasien bukan gawat darurat. Ketiga, kesimpulan meninggal dunia seorang pasien mestinya oleh dokter, bukan penilaian subyektif keluarga pasien.

Belajar kasus ini, jika berkenan ada beberapa saran yg perlu disampaikan kepada kita semua terkait pelayanan rumah sakit.

1. Bagi pasien dengan jaminan kesehatan/asuransi, siapkan semua persyaratanya ketika anda masih sehat. Sehingga saat dibutuhkan sudah lengkap dan siap digunakan.

2. Perjelas status dan kondisi pasien, darurat atau tidak. Jika anda ragu dan khawatir lebih baik langsung ke IGD, jangan datang ke poliklinik. Karena poliklinik diperuntukan pasien yang memerlukan pemeriksaan bukan tindakan segera.

3. Jika pasien harus dirujuk, mintalah Puskesmas atau Rumah Sakit mencarikan RS yang siap menerima rujukan. Boleh saja keluarga pasien membantu mencari RS rujukan, tapi itu tidak harus.

4. Jangan pernah membawa pasien keluar Puskesmas/RS jika belum jelas RS mana yang siap terima rujukan pasien. Apalagi jika menurut dokter dan indikasi medis kondisi pasien not transferable.

5. Pasien berhak atas informasi yang jujur, jelas dan benar. Jangan sungkan bertanya kepada dokter atau petugas RS, meski akan dibilang bawel. Itu hak pasien, demi nyawa pasien.

6. Jadi pasien atau keluarga, jangan alergi prosedur dan standar. Pelayanan RS itu padat prosedur dan standar. Itu semua demi keselamatan dan ketertiban, tapi komunikasikan!

7. Bersabarlah menjadi pasien jamkesmas/jamkesda jika antriannya panjang. Karena memang jumlah pasiennya banyak. Yang terpenting, RS tidak melanggar hak pasien.

8. Tidak ada RS yang berniat celakai pasien. Tidak ada pasien yg mau ditolak RS. Untuk itu, berkomunikasilah dengan baik dan jangan memaksakan kehendak.

Semoga kita menjadi orang yang dapat mengambil hikmah dari kejadian di sekitar kita, meski itu kisah tragis. Semoga kita jadi orang sabar lagi tahu hak kewajibannya. Harapan besarnya, tidak ada lagi Naila-Naila yang lain.

Minggu, 10 Maret 2013

, , , , ,

Inilah Hak Pasien Terhadap Rumah Sakit

Berita ditolaknya pasien miskin oleh Rumah Sakit masih menjadi kabar hangat minggu ini. Ada persepsi berkembang bahwa tidak terlayaninya pasien dengan jaminan Kartu Jakarta Sehat atau Jamkesmas ini telah merampas hak pasien atas pelayanan kesehatan.

Sebenarnya apa saja hak pasien menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam Pasal 32 Undang-Undang Rumah Sakit menetapkan bahwa setiap pasien mempunyai hak:

  1. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

  2. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

  3. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

  4. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

  5. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;

  6. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

  7. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

  8. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

  9. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;

  10. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

  11. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

  12. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

  13. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

  14. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;

  15. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;

  16. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

  17. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

  18. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Selain pada pasal 32 yang secara eksplisit memuat Hak Pasien, sesungguhnya ada hak pasien lain yang secara inplisit termuat dalam pasal-pasal lain, misalnya dalam pasal Kewajiban Rumah Sakit. Karena apa yang diwajibkan kepada Rumah Sakit, tentu membawa hak bagi stake holder lain, terutama Pasien.

Selain mempunyai hak, setiap pasien juga mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi logis dari jasa pelayanan kesehatan yang diterimanya. Lain waktu kita bahas kewajiban pasien, ya!

Jumat, 22 Februari 2013

, , , , ,

Bukan Hanya Orang Miskin Dilarang Sakit

Annisa Dera Upik, nama yang cantik bukan? Secantik wajahnya yang tenang menghadap Sang Pencipta. Annisa Dera Upik adalah nama 3 anak manusia yang kematiannya menghiasi media massa dan media sosial pada akhir-akhir ini dan semuanya dengan Rumah Sakit.

Annisa, mahasiswi yang melompat dari angkot yang meninggal di RS Koja namun pemberitaan yang muncul terkait urusan uang muka masuk ICU di RS Atmajaya. Dera, pemberitaannya begitu fenomenal. Bayi mungil lahir prematur dari bayi kembar berumur sekitar 6 hari ini meninggal dunia setelah tak mendapatkan perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di RS Zahirah. Dan terkahir Upik, bayi prematur yang "divonis" 2x meninggal dunia di RS Bersalin Kartini.

Sebuah perumpamaan satire menyertai pemberitaan kematian 3 anak Indonesia ini; orang miskin dilarang sakit. Ini sebuah ironi, ditengah masyarakat yang dipimpin oleh Kepala Daerah dimana pada masa kampanyenya menjanjikan jaminan kesehatan secara gratis.

Sesungguhnya ini bukan perkara orang miskin yang dilarang sakit. Sebenarnya orang kaya pun sebaiknya tidak sakit. Siapa pun dia, kaya atau miskin, akan tersiksa jika sakit mendera. Yang kaya menjadi miskin karena penyakit yang membutuhkan biaya berobat yang tinggi. Yang miskin semakin merana sebab seakan tak ada pilihan, selain pasrah dan menunggu keputusan Yang Diatas.

Siapa yang tak merasa berduka dengan meninggal dunianya Annisa, Dera dan Upik akibat tak berdayaan mendapatkan akses layanan kesehatan semestinya? Masyarakat umum geram dengan pemberitaan yang mengesankan perilaku diskriminasi rumah sakit terhadap orang miskin. Bukan salah mereka; yang geram, yang menghujat, yang menyalahkan rumah sakit dan pemerintah. Bisa jadi itu karena pengalaman pribadi mendapatkan pelayanan yang buruk di rumah sakit. Atau mungkin ketidaktahuan pada apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja harus dimaklumi.

Tetapi bagaimana jika rasa geram dan hujatan disebabkan disinformasi? Atau terprovokasi pemberitaan yang terus diulang dan mencuci pikiran? Sesungguhnya media massa dan media sosial turut bertanggung jawab dalam terpaparnya informasi obyektif dan transparan. Bukan sekedar berita diambil dari sudut pandang yang berpotensi peningkatan rating. Pokok dan subpokok berita yang ujungnya justru penyesatan opini.

Orang miskin dilarang sakit, sungguh sebuah pokok berita satire yang menyesatkan. Alih-alih turut memberikan informasi solutif terhadap persoalan pelayanan kesehatan. Malah sebaliknya, menggelindingkan isu yang jauh dari substansi. Harus diakui, tidak sedikit rumah sakit dengan pelayanan publik dan cita rasa komunikasi buruk. Tetapi banyak juga rumah sakit yang melayani dengan segenap kemampuan pelayanan. Tidak adil rasanya hanya menyalahkan, menghujat dan menghakimi, tanpa mau tahu permasalahan yang dihadapi dunia perumahsakitan.

Setiap orang, miskin kaya, (kalau bisa) dilarang miskin. Siapa yang sanggup, menutupi biaya perawatan NICU atau intensive lain sebesar sekitar Rp 2 juta perhari? Itu diluar biaya obat dan tindakan medis. Atau kita kembali ke pertanyaan dasar; siapa sih yang mau sakit?

Semestinya kita, ya kita semua, jangan biasakan mempertentangkan kelas sosial. Mari kita cerna setiap informasi secara jernih. Ayo, kita fahami permasalahan sebenarnya. Tidak saja Annisa, Dera dan Upik. Tetapi juga Robert, Angel, Melissa, Paijo, Tukiyem dan seluruh anak Indonesia (kalau bisa) dilarang sakit. Kalau pun sakit, mereka segera mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik.