Tampilkan postingan dengan label jaminan kesehatan nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jaminan kesehatan nasional. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Januari 2015

, , , ,

Setiap Orang Beresiko Sakit Jantung, Daftar JKN Ketika Masih Sehat

Kenapa orang dg usia diatas 40 tahun harus daftar #JKN @BPJSKesehatanRI disaat sehat?

Saya mendapat pesan melalui facebook berupa nasehat dokter spesialis jantung, dr Hananto Andriantoro (Direktur Utama RS Jantung Harapan Kita). Sangat penting! 
Berikut kutipan lengkapnya:

"Kepada pa Anjari Umarjianto dan semua teman yg saya mohon membaca posting saya sampai selesai. Saya menganjurkan untuk menjadi peserta BPJS saat masih sehat terutama laki laki dewasa usia diatas 40 tahun dengan faktor risiko penyakit jantung koroner.

Hal ini dikarenakan ada peraturan dari BPJS yg tidak pernah dikonsultasikan pada Rumah sakit bahwa kartu BPJS mulai berlaku 1 satu minggu setelah mendaftar menjadi peserta BPJS. Akibatnya banyak penderita serangan jantung akut tidak bisa dibayar BPJS jika mereka belum menjadi peserta BPJS.

Penanganan serangan jantung akut justru dilakukan pada jam jam pertama serangan, jika tidak tertangani akan berakibat buruk. Penanganan pada jam jam pertama serangan tidak bisa dibayar BPJS krn peraturan baru jika pasein tersebut belum menjadi peserta BPJS dan jika baru mendaftar saat serangan BPJS bisa membayar 1 minggu kemudian, sehingga penanganan pada jam jam pertama serangan tidak bisa dibayar BPJS.

Tolong di share informasi ini kepada siapa saja yg membaca postingan saya ini saudara akan membantu teman dan saudara kita jika terkena serangan jantung akut terima kasih..."

Senin, 15 Desember 2014

, , , , ,

Apakah Lesehan Sehat Patut Diproduksi Lagi?

Akhirnya sampai juga di tepian. Perjalanan 11 episode program televisi Lesehan Sehat harus tamat. Hari ini, Minggu (14/12) episode terakhir akan tayang jam 20.00 wib di TVRI Nasional. Episode terakhir mempunyai konsep berbeda karena merupakan ringkasan dari 10 episode sebelumnya. Selama sekitar 48 menit akan ditampilkan banyak pemain dan narasumber. Dalam episode pamungkas ini, ada tokoh yang selama ini di belakang layar, karena situasi "terpaksa" dihadirkan dengan tugas merangkum cerita Lesehan Sehat.

Acara televisi yang awalnya bernama Lesehan JKN ini dimaksudkan memberikan edukasi dan sosialisasi program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Konsep Lesehan Sehat (Lesehan JKN) adalah problem solving. Dengan kemasan situasi komedi dengan dialog sederhana masyarakat awam. Dari
dialog yang mengangkat masalah sehari-hari dalam pelayanan JKN, kemudian dijawab dengan solusi oleh tokoh-tokoh yang kebetulan langganan di warung Lesehan Sehat, milik Pak Husodo.

Pak Husodo sebagai peran utama di bantu adiknya Bekti mengelola warung lesehan. Dibantu Euis, pelayanan warung dan Ucok, si penjaga parkir. Tokoh-tokoh rekaan itu diupayakan merepresentasikan rakyat Indonesia. Terutama tokoh Husodo dan Bekti merupakan metamorfosis dari lambang Bhakti Husada, simbol pelayanan kesehatan juga Kementerian Kesehatan.

Dengan segala kekurangannya, berakhirnya program televisi Lesehan Sehat ini patut disyukuri. Sejujurnya banyak hal yang harus diperbaiki, pihak produser menyadari itu. Namun beberapa apresiasi secara personal yang disampaikan, mampu memberi energi semangat kepada produser, pemain dan semua awak. Ini program yang bermanfaat.

Tapi kami belum puas. Kami ingin mendapatkan lebih banyak saran pendapat. Oleh sebab itu, sudi kiranya Saudara semua memberikan masukan dan pendapatnya terhadap program Lesehan Sehat.

Menurut Saudara, apakah Lesehan Sehat patut diproduksi lagi pada tahun 2015? Apa alasannya?

Mohon menyampaikan pendapatnya pada kolom komentar dibawah ya. Kami amat sangat mengharap penilaian Saudara. Bagi yang belum pernah menonton atau ingin kembali nonton, saksikan episode terakhir Lesehan Sehat hari ini, Minggu (14/12) jam 20.00 wib di TVRI Nasional.

Jumat, 31 Oktober 2014

, , , ,

Sulitnya Kartu Indonesia Sehat Gantikan Jaminan Kesehatan Nasional

Skenario terbaik itu Kartu Indonesia Sehat (KIS) itu sebutan Kartu-nya, programnya ‪#‎JKN‬ dan @BPJSKesehatanRI pelaksananya. 

Secara substantif, legalitas, administratif sulit Kartu Indonesia Sehat menggantikan #JKN. Silahkan Cermati Peta Jalan #JKN. Secara substantif, program #JKN itu sistem terdiri subsistem2 diantaranya pembiayaan, sedangkan Kartu Indonesia Sehat konsepnya belum jadi. Jika Kartu Indonesia Sehat‪#‎KIS‬ dianggap sebagai program, sebaiknya hilangkan kata "Kartu-nya", misalnya program Indonesia Sehat.

Secara legalitas, #JKN didukung dengan aturan2 dari UU, PP, Perpres, Permenkes, peta jalan. Jika #KIS belum ada landasan hukumnya. Secara administratif, misalnya anggaran & keuangan saja, #KIS belum ada mata anggaran dan pertanggungjawaban keuangannya. 

Jadi secara substantif, legalitas, administratif sulit #KIS gantikan #JKN pada waktu dekat ini. Yg mungkin adalah menggabungkannya.
Demikian, selamat bekerja sahabat. Salam sehat. Jangan tunggu sampai sakit, jadilah peserta #JKN

Jumat, 08 Agustus 2014

, , , , , , , , , , ,

Benarkah JKN dan INA CBGs Merugikan Dokter dan Pasien?

Sebuah keluhan lama tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau awam lebih mengenal dengan BPJS Kesehatan yang dimuat DIB Online. Keluhan itu ditujukan (mention) untuk menjadi perhatian kepada saya oleh mba Silly, pendiri @Blood4LifeID.

Berikut kutipan tulisan keluhan itu :
Ini bukan tulisan saya, ini adalah tulisan seorang sejawat SpOG yg bertugas di RSUD dr. Soetomo (PPK III)
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya ‘harus’ bertemu dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat dokter umum.
Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain. Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan bagi seorang SpOG bila ‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien).
Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,”dokter mau mengerjakan pasien BPJS?”. Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya.
Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak???
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter.
Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah buat saya….

Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca operasi, saya dihubungi apotek. “Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang…. (http://dib-online.org/maaf-ini-bukan-salah-kita/)

Pertama, semoga saja Ibu dan Anaknya selamat dan sehat setelah proses SC hingga kini. Kedua, semoga saja, Dokter Obgyn yang menolong persalinan diberkahi oleh Alloh dengan kecukupan rezeki dan kesehatan. Ketiga, semoga RS Soetomo terus tegak menjalankan tugasnya dalam melayani kesehatan masyarakat.

Sesungguhnya ini cerita lama, ini keluhan yang ditulis tanggal 11 Januari 2014, diawal diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional. Jika boleh bernostalgia, saat itu suara-suara kencang menyuarakan rumah sakit bakal bangkrut karena berlakunya JKN dengan tariff INA-CBGs. Dan diberbagai tulisan saya sebelumnya telah saya sampaikan bahwa faktanya rumah sakit tidak bangkrut. Sebaliknya rumah sakit mengalami surplus balance, alias lebih dari untung jika dibandingkan dengan tariff rumah sakit sebelumnya.

Bukti nyata adalah tidak ada rumah sakit yang menerima pasien JKN saat ini gulung tikar. Bahkan di media massa tidak ada lagi pemberitaan yang mengangkat suara rumah sakit bangkrut atau keluhan dokter yang rugi akibat tariff INA CBGs. Sesungguhnya tidak begitu relevan masalah yang terjadi di awal sekali berlakunya JKN (Januari) tapi direspon atau dijawab saat ini.

Namun untuk keseimbangan dan penyajian fakta sekaligus pembelajaran, tidak berlebihan saya merespon tulisan tersebut dengan beberapa fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Faktanya, 96 persen Rumah Sakit penerimaannya mengalami surplus dihitung dari ratio klaim tarif INA-CBG yang ditagihkan ke BPJS dengan tarif RS. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa 96 persen RS dengan tariff INA CBGs dibandingkan dengan tariff lama/sebelumnya. Coba bayangkan, jika total penerimaan dengan tariff INA CBGs sama dengan tariff RS sebelumnya saja sudah disebut UNTUNG, ini faktanya 96 persen RS total klaim penerimaaannya mengalami kelebihan diatas tariff RS. Ini bukan lagi untung, tetapi BONUS. Pertanyaannya, jika RS-nya saja “bonus” surplus, apakah tenaga medisnya bakal rugi?

  2.  Tujuan penggunaan tarif paket INA-CBG dalam JKN adalah untuk mendorong efisiensi tanpa mengurangi mutu pelayanan. INA CBGs itu cost effective system. Jika penangan kuratif dan rehabilitative dari sekelompok diagnose penyakit pasien mengakibatkan biaya lebih besar dari tariff INA CBGs (rugi), bisa terjadi beberapa kemungkinan :

    • Kebiasaan terapi dan perawatan yang dilakukan dokter tidak cost effective

    • Telah terjadi over treatment terhadap pasien. Alias standar pelayanan tidak standar.

    • Terjadi kesalahan teknis misalnya, salah input kode INA CBGs, rekam medis tidak lengkap, dll

    • Penentuan severity level yang tidak tepat sehingga tariff INA CBGs perlu diperbaiki.



  3. Faktanya, banyak kebiasaan dokter yang tidak cost efective yang perlu diperbaiki. Misalnya untuk kasus untuk SC diatas, saya kutipkan jawaban teknis seorang Dokter Obgyn dan pakar INA CBGs dari RS Kariyadi Semarang sebagai berikut :

    • Kasus SC merupakan kasus yang “unik”. Status pasien sulit diprediksi. Dalam kondisi normal pun bisa mendadak tidak stabil. Demikian juga dalam kasus pasien tidak ANC pun, ternyata bisa jadi bisa dalam kondisi normal. Sehingga biasanya, pasien SC dikondisikan dalam keadaan kegawatdaruratan.

    • Lama rawat SC tanpa komplikasi umumnya hanya 4 hari atau 3 hari. Kalau di rawat di kelas 3 kita tinggal hitung biaya akomodasi di klas 3 yang tidak mahal. Rata-rata rawat inap kelas 3 Rp 100 ribu per hari. Antibiotik yang diberikan cukup sekali pemberian dengan obat generik generasi pertama yang harganya tidak lebih dari Rp 25 ribu. Tidak perlu diberikan antibiotik oral. Obat nyeri generik juga sangat murah dan mutunya bail dengan menggunakan formularium nasional yang sudah terbukti mempunyai bukti ilmiah yang kuat. Demikian juga anesthesi regional biaya tidak lebih dari Rp 100 ribu. Terhadap penggunaan obat motilitas usus, itu belum terbukti ilmiah harus selalu digunakan. Dengan uraian ini, maka kasus SC tanpa komplikasi biasanya menghabiskan biaya medis sekitar Rp 2 juta.

    • Jika kasus SC dengan komplikasi bisa dilihat seberapa severity levelnya. Biasaya kenaikan tarifnya 20% sd 30% setiap levelnya. Misalnya saja bayinya mengalami Berat Badan Rendah (BBLR), semestinya sang bayi dikenakan tariff berbeda sehingga RS memasukan input kode INA CBGS lagi, sehingga totalnya lebih dari Rp 4 juta.

    • Faktanya setelah 7 bulan JKN dijalankan, justru Cost Recoveru Rate RS meningkat.



  4. Kebiasaan JKN kebiasaan Rumah Sakit/Dokter tidak berubah dari fee for service system menjadi prospective payment system. Contohnya dalam kasus diatas, dimana dokter Obyen bisa mendapat honor “cuma 60 ribu” per pasien. Ini cara berfikir dan perilaku yang tidak tepat dalam system paket INA CBGs. Karena sesungguhnya, dengan INA CBGs, jasa layanan diambil dari selisih total penerimaan dikurangi total pengeluaran. Tidak hitung per pasien sebagaimana dalam fee for service system yang selama ini dilakukan.

  5. Dalam system INA CBGs, istilah “obat ini tidak ditanggung, obat itu ditanggung” tidak sepenuhnya tepat. Penghitungan tariff INA CBGs dihitung secara paket berdasarkan output. Dokter Obgyn dan ahli INA CBGs tadi memberikan analogi sederhana begini. Misalnya sebuah masakan nasi goreng seharga Rp 15 ribu. Meskipun pelanggan meminta garamnya dikurangi, lebih pedas, telur ceplok atau dadar maka harganya tetap sama Rp 15 ribu. Kecuali jika minta telornya 2 buah, maka harganya naik karena ini tidak sesuai dengan paket dan standar nasi goreng yang dijual.

  6. Kemudian untuk “kasus sirkumsisi (sunat) tarifnya jauh lebih besar dibandingkan tindakan SC” itu terjadi jika pada sirkumsisi yang rawat inap, misalnya komplikasi dengan hemophili. Tetapi untuk sunat ritual yang rawat jalan biaya tidak lebih dari Rp 200 ribu.

  7. Pertanyaan penutupnya, mengapa pada awal diberlakukannya JKN banyak dokter menyuarakan bahwa mereka dibayar dengan murah atau rugi? Karena mindset dan kebiasaannya belum berubah tadi, misalnya :

    • Jasa layanan/honor dihitung per pasien/perlayanan, tidak paket.

    • Biasa menggunakan obat paten, bukan generik atau obat dalam fornas

    • Tidak punya clinical pathway, atau ada clinical pathway tetapi pelayanan dilakukan sesuai kebiasaan selama ini. Padahal belum tentu sesuai PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran), dan lain-lain . Sehingga jika dokter masih melakukan dengan kebiasaan lama, sedangkan sistemnya menggunakan INA CBGs ya bakal tidak nyambung. Jadi siapa yang mestinya berubah mindset dan perilakunya?




Apa yang semestinya dilakukan oleh 4% persen RS tadi menjadi surplus, atau yang 96% RS menjadi semakin cost effective tanpa mengurangi mutu layanan?

  • Bangun komonikasi yang baik antara tim dokter denganmanajemen untuk mengurangi variasi pelayanan dan pilih layanan yang paling cost efective dengan membuat dan menjalankan clinical pathway.

  • Hilangkan kebiasaan kerjasama yang tidak perlu antara dr juga manajemen untuk mendapatkan keuntungan yang tidak perlu, yang konon bisa dimasukan kategori grativikasi. Masih banyak lagi tugas mulia dan perubahan yang harus dilakukan dr dan manajemen untuk melakukan koreksi biaya di sisi input (perencanaan dan pengadanbarang jasa) dan proses (penggunaan sumber daya obat, alat habis pakai, pemeriksaan penunjang dll)

  • Manajemen melakukan efisiensi pada sisi input dan melakukan subsidi silang dari biaya pelayanan lain juga banyak surplusnya.

  • RS membayar jasa dokter yang layak dan sesuai dengan kaidah karena total penerimaan RS surplus.


Demikian, semoga bermanfaat.

Senin, 04 Agustus 2014

, , , , , , , , , , , ,

Apa Kriteria Utama Menkes 2014 - 2019?

Saat ini hangat dibicarakan ditengah publik adalah susunan kabinet Presiden/Wakil Presiden mendatang. Anggaplah untuk sementara ini disebut Kabinet Jokowi-JK. Banyak versi usulan nama calon Menteri yang beredar di media, termasuk calon Menteri Kesehatan. Dari banyak versi dan usulan tersebut, semua bicara siapa sebagai menteri apa. Bukan apa dan mengapa sehingga siapa itu mampu menjabat menteri apa.

Mari kita ambil contoh nama-nama calon Menkes yang beredar di media publik. Ada Ribka Tjiptaning, Ali Gufron Mukti, Fasli Jalal, Tjandra Yoga Aditama, Akmal Taher, Fahmi Idris, Nova Riyanti Yusuf, dan lain-lain. Dari sekian banyak calon menkes itu, nama Ribka memunculkan pro kontra terutama dari kalangan dokter. Ini bisa difahami dari rekam jejak dan pernyataan Ribka selama ini. Tak elok rasanya membahas pro kontra ini. Mari kita lebih mencermati bahwa usulan, diskusi dan perdebatan yang muncul masih sebatas tokoh/sosok yang dianggap layak dan pantas sebagai Menkes. Tetapi ada satu hal mendasar yang lupa diangkat dan didiskusikan; kondisi Kesehatan seperti apa yang diharapkan Indonesia sekurangnya hingga 5 tahun ke depan?

Dalam ilmu organisasi, terlebih dahulu bicara tujuan dan fungsi baru kemudian struktur. Dalam manajemen sumber daya manusia, terlebih dahulu diperjelas job description dan job specification sebelum ditentukan orangnya. Konkritnya, sebelum bicara siapa calon Menkes yang layak dan pantas (fit & propher) semestinya ditentukan dulu syarat dan kriteria Menteri Kesehatan didasarkan pada tujuan pembangunan kesehatan sekurangnya 5 tahun mendatang. Syarat dan kriteria itu secara populis didasarkan pada apa sih kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia?

Dalam kondisi normal Kabinet Pemerintahan berjalan dalam periode 5 tahunan. Memang harus diakui kebijakan dan pengaturan Kabinet, termasuk Menkes, akan berdampak panjang melebihi periode pemerintahan 5 tahun. Namun untuk mempermudah penentuan syarat dan kriteria calon Menkes, rentang waktu pergantian pemerintahan 5 tahunan ini bisa dijadikan acuan. Pertanyaan dasarnya, kondisi pembangunan kesehatan seperti apa selama 5 tahun nanti? Atau sebenarnya dalam 5 tahun ini, masyarakat Indonesia itu berkepentingan dan butuh apa?

Terdapat banyak sekali urusan bidang kesehatan yang harus ditangani dan diselesaikan. Setiap orang dengan berbagai latar belakang, pengalaman dan kepentingannya bisa mengutarakan kondisi yang diharapkan. Yang banyak diusulkan para ahli dan akademisi yaitu pembangunan kesehatan dititikberatkan pada upaya kesehatan masyarakat (UKM), preventif dan promotif. Karena selama ini lebih menjurus pada upaya kesehatan perorangan (UKP), kuratif dan rehabilitatif. Konon anggaran kesehatan Indonesia banyak tersedot pada pengobatan di puskesmas dan rumah sakit tetapi minim sekali untuk pencegahan dan promosi perilaku hidup sehat. Itu dari aspek upaya, belum bicara komponen SDM, pelayanan kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pembiayaan, kelembagaan dan legislasi, manajemen kesehatan dan lain-lain banyak sekali.

Pendapat tersebut bisa jadi benar, tapi perlu dipertajam dan lebih fokus. Sesungguhnya UKM dan prevensi masih luas, seperti apa yang diharapkan? Jika diuji lagi, apakah sesungguhnya kita bisa pisahkan secara tegas dan lugas antara UKM dan UKP? Dari upaya kesehatan promotif preventif hingga kuratif rehabilitatif?

Kita harus realistis bahwa 5 tahun bukanlah waktu yang cukup untuk selesaikan semua masalah kesehatan Indonesia. Waktu 5 tahun tidak cukup mengakodasi banyak harapan dan kemauan bidang kesehatan. Kita harus memilih program yang terencana, terukur dan mempunyai daya ungkit bagi sistem pembangunan kesehatan Indonesia. Analoginya, kita fokus pada tulang punggung (backbone) dimana aspek UKM dan UKP tercakup serta komponen dari sistem kesehatan seperti pelayanan kesehatan, SDM dll dapat terintegrasi. Salah satu prinsip program yang baik adalah kesinambungan dari program sebelumnya. Adakah program yang memenuhi uraian tersebut serta sesuai kepentingan dan kebutuhan masyarakat? Jawabnya adalah sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional merupakan agenda dan fokus utama pembangunan kesehatan tahun 2014 - 2019, selain program kesehatan lain. JKN bukan hanya menyangkut pembiayaan kesehatan. JKN merupakan sistem atau backbone yang dapat menjadi sandaran utama bagi peningkatan pelayanan kesehatan, SDM, obat & perbekalan kesehatan, sarana prasarana, pembiayaan, manajemen kesehatan dll. JKN bisa menjadi kunci pengungkit perbaikan di berbagai sektor kesehatan baik UKM maupun UKP. Dengan kata lain, target dan tujuan bidang kesehatan dalam masa kabinet pemerintahan saat ini adalah terlaksananya JKN yang menggerakan sektor kesehatan secara umum sebagaimana peta jalan tahun 2014- 2019 yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, kita bisa tentukan syarat dan kriteria calon Menteri Kesehatan adalah memahami dan mampu menjamin pelaksanaan JKN sesuai peta jalan yang telah ditetapkan. Inilah indikator kinerja kunci yang realistis dan terukur bagi Menkes RI periode 2014-2019. Menkes yang berhasil mensukseskan sistem JKN berarti telah menyelesaikan sebagian dari masalah-masalah kesehatan Indonesia. Pertanyaannya, siapakah calon Menkes yang memahami dan mampu menyukseskan JKN?

Ini tugas Presiden/Wakil Presiden terpilih yang melakukan uji kelayakam dan kepantasan. Untuk saat ini, KPU telah tetapkan Jokowi-JK sebagai pemenang pilpres. Biarlah, beri kesempatan, Jokowi-JK menetapkan Menkes pilihannya. Sekali lagi, semestinya dalam menentukan Menkes yang lebih diutamakan adalah syarat dan kriteria didasarkan pada tujuan pembangunan kesehatan 5 tahun mendatang. Dan suksesnya pelaksanaan sistem JKN adalah indikator kunci yang memiliki daya ungkit pada pembangunan kesehatan Indonesia.

Jadi siapa Menteri Kesehatan selanjutnya, terserah Presiden/Wapres. Kita lihat saja!

Senin, 07 Juli 2014

, , , , , , , , , , , , , ,

Ikut JKN Sekarang, Jangan Tunggu Sampai Sakit

Setiap orang pasti sakit dan kita tak tahu kapan sakit itu datang. Ketika kita ingin berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit harus sudah jelas status pasien; membayar tunai atau menggunakan jaminan kesehatan. Akan lebih mudah dan tenang, jika kita telah memiliki kartu JKN. Prosedur layanan sudah jelas dan biaya pengobatannya pun dipasti ditanggung BPJS Kesehatan sesuai iuran yang dibayarkan.

Bukankah kita bisa mendaftar saat JKN pada saat sakit? Benar bahwa kita bisa mendaftar JKN kapan saja. Namun perlu diingat bahwa kartu JKN berlaku atau bisa digunakan sejak dikeluarkan (tidak berlaku surut). Ini berarti biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit yang timbul sebelum kita memiliki kartu JKN menjadi tanggung jawab pasien/keluarga sendiri. Jika jumlah biaya berobat relatif kecil, mungkin tidak menjadi masalah. Bagaimana jika sejak awal masuk rumah sakit sudah memerlukan biaya tinggi disebabkan sakit yang sudah parah? Kondisi ini sangat mungkin terjadi kepada siapa saja.

JKN diselenggarakan dengan prinsip gotong royong. Melalui iuran yang dibayarkan setiap bulan, peserta JKN yang sehat membantu peserta yang sedang sakit atau sakit berisiko tinggi. Peserta JKN yang mampu membayar iuran untuk perawatan kesehatan kelas 1 misalnya, akan membantu kelas 2 atau kelas 3. Dengan subsidi silang antar peserta JKN maka standar pelayanan kesehatan yang berprinsip kendali mutu kendali biaya dapat tercapai. Inilah makna gotong royong, nilai kehidupan yang kita junjung dan laksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada tiga jenis iuran JKN yaitu untuk fasilitas pelayanan rawat inap kelas I sebesar Rp 59.500 per bulan per orang, kelas II sebesar Rp 42.500 dan kelas III sebesar Rp 25.500. Penentuan kelas fasilitas pelayanan bergantung pada penghasilan peserta, dan kecocokan fasilitas rumah sakit. Sedangkan khusus bagi orang miskin dan tidak mampu membayar iuran ditanggung Pemerintah, disebut Peserta Bantuan Iuran (PBI). Iuran PBI sebesar Rp 19.225 per orang per bulan untuk fasilitas kelas 3 dibayar oleh Pemerintah. Pemerintah telah menetapkan peserta PBI yang memenuhi kriteria miskin berjumlah 86,4 juta jiwa.

Seperti pepatah, sedia payung sebelum hujan. Oleh karena itu, ikut JKN sebelum sakit adalah langkah bijak nan cerdas melindungi kesehatan dan keselamatan kita dan keluarga.

Sabtu, 05 Juli 2014

, , , , , , , , , , , ,

JKN Ringankan Beban Ketika Sakit

Delvi bersedih, karena anaknya (Ridho, 5 bulan) menderita hidrocephalus. Ridho menderita hidrocephalus sejak lahir. Sebagai orang tua, Delvi dan suami, berupaya semaksimal mungkin mencari pengobatan kepada anaknya. Namun penghasilan dirinya yang seorang buruh pabrik garmen dan suaminya seorang sopir truk pengangkut pasir, tidak cukup membiayai pengobatan anak kesayangannya itu.

Delvi bercerita, Ridho sudah pernah melakukan pengobatan di sebuah rumah sakit di Bogor. Sekali pengobatan, Delvi merogoh kocek hingga Rp 1,4 juta. Belum sembuh, Delvi mencoba ke pengobatan alternatif. Hasil tetap nihil, namun uang sudah terkuras habis.

Delvi tidak menyerah. Delvi membawa Ridho ke RSUD Bekasi dengan harapan mendapat biaya yang lebih murah. Atas saran dokter yang merawat Ridho, Delvi pun mendaftar menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di kantor BPJS Kesehatan terdekat. Delvi mengaku tidak merasa kesulitan dalam membuatnya. Prosedur yang dijalani tidak dirasa rumit. Tak perlu memakan waktu lama, kartu JKN selesai diurus. Ridho pun dapat ditangani di RSUD Bekasi.

"Awalnya saya pikir akan rumit urus BPJS. Karena lihat di berita katanya susah. Tapi demi anak saya ya saya coba. Ternyata tidak kok. Saya tidak merasa kesulitan waktu mengurus JKN," ujarnya (Kompas, 4/5/2014).

Bagi Delvi, JKN telah menjadi penolong bagi anaknya yang sakit. JKN adalah jalan keluar kesembuhan anaknya. Ridho menjalani operasi hidrochepalus di RSUD Bekasi. Menurut Delvi, semua itu memakan biaya ratusan juta. Dirinya merasa bersyukur karena keseluruhan biaya sudah ditanggung program bantuan JKN yang diselenggarakan Pemerintah melalui BPJS Kesehatan.

"Kalau tidak ada JKN, saya tidak tahu dapat uang untuk Ridho dari mana. Ini sekarang saya paling hanya keluar uang operasional sehari-hari aja," ujar Delvi (Kompas, 4/5/2014).

Itulah kisah perjuangan Delvi dalam mengupayakan kesembuhan anaknya dengan biaya pengobatannya ditanggung JKN. Tidak hanya Delvi, siapapun termasuk kita, akan berpendapat bahwa biaya pengobatan itu mahal. Apalagi jika penyakit yang diderita termasuk penyakit yang telah memasuki stadium lanjut atau penyakit yang sulit disembuhkan. Jangankan orang tak mampu, orang kaya pun bisa miskin karena sakit yang dideritanya. Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?
JKN untuk Seluruh Rakyat Indonesia

Sakit merupakan kejadian yang tak pernah bisa diduga. Sakit bisa datang ketika kita masih produktif dan berpenghasilan cukup. Namun sakit juga bisa disaat ketika kita tak lagi produktif, tidak cukup penghasilan. Singkat kata, sakit tak memandang orang kaya, orang cukup atau orang miskin. Dalam demikian, bagaimana dalam kondisi sakit kita bisa memperoleh pengobatan dan pelayanan kapan saja dan dimana saja?

Ya, kita memerlukan Jaminan Kesehatan. Dengan Jaminan Kesehatan atau asuransi kesehatan mengurangi risiko menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri (out of pocket), dalam jumlah yang sulit diprediksi bahkan sering kali jumlahnya sangat besar. Namun tidak setiap orang mampu dan mau ikut asuransi kesehatan. Mengapa demikian? Pertama, premi asuransi kesehatan komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau sebagian besar masyarakat. Kedua, manfaat yang yang ditawarkan umumnya terbatas.

Oleh sebab itu, Pemerintah mengeluarkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai 1 Januari 2014. Berbeda dengan asuransi kesehatan komersial, JKN merupakan asuransi kesehatan sosial dengan banyak kelebihan. Pertama, iuran relatif terjangkau bagi setiap orang. Bahkan bagi penduduk miskin, iurannya ditanggung oleh Pemerintah. JKN dijalankan dengan prinsip gotong royong. Ini berarti bahwa peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit, atau sakit berisiko tinggi.

Kedua, JKN memberikan manfaat yang komprehensif dengan iuran terjangkau. Setiap peserta JKN memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai kebutuhan medis.

Ketiga, JKN menerapkan prinsip kendali mutu kendali biaya. Itu berarti peserta JKN dapat memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan biaya yang wajar dan terkendali. Keempat, JKN menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelelanjutan). Kelima, JKN menganut sistem portabilitas sehingga peserta JKN dapat menggunakannya kartu JKN untuk berobat antar fasilitas kesehatan dan antar daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Oleh karena itu, untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia, kepesertaan JKN bersifat wajib bagi setiap orang penduduk Indonesia dan warga negara asing yang bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia.

 

Kamis, 26 Juni 2014

, , , , , , , , , ,

Rencana KIS-nya Jokowi VS Fakta JKN-nya BPJS Kesehatan

Kembali saya bicara Kartu Indonesia Sehat (KIS). Pokoknya, sepanjang ada pihak yang melakukan dis-informasi terhadap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, maka saya tidak akan berhenti menulis untuk menyampaikan infomrasi yang benar. Dalam konteks ini, Kartu Indonesia Sehat yang digagas Jokowi-Jusuf Kalla selalu dikaitkan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional yang sudah berjalan cukup baik saat ini. Oleh karenanya, saya merasa perlu melakukan pelurusan informasi terhadap rencana KIS-nya Jokowi dan faktanya JKN-nya BPJS Kesehatan.

Saya terus mencari cetak biru program KIS Jokowi ini, namun belum juga ketemu. Yang bisa ditemukan baru sebatas berita terkait KIS. Saya akan mengutip informasi rencana diluncurkannya KIS didasarkan dari pernyataan Jokowi dan Timses, kemudian membandingkan dengan fakta-fakta yang telah terlaksana dari program JKN.

Dalam kunjungannya ke kantor salah satu media, Rieke Dyah Pitaloka (Timses Jokowi-JK) menyatakan bahwa KIS adalah penyempurnaan dari program BPJS Kesehatan yang sudah ada. Apakah benar demikian? Mari kita uji satu persatu.

#Kesatu. Pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri itu menyatakan bahwa rencananya KIS akan akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada seluruh warga Indonesia.  Jika disebutkan bahwa KIS adalah penyempurnaan BPJS Kesehatan, apakah dengan kata  lain bahwa "Oneng" mengatakan JKN tidak memberikan akses kesehatan secara luas kepada seluruh Indonesia?

Faktanya adalah  JKN wajib berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia dan warga negara asing yang telah bekerja sekurangnya 6 bulan di Indonesia. JKN dilaksanakan secara bertahap selama 5 tahun mulai 1 Januari 2014 dan pada tahun 2019 nanti seluruh Indonesia harus sudah ikut dan terdaftar sebagai Peserta JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Bahkan dalam target peserta JKN Tahun 2014 sebagaimana dalam roadmap sekitar 122 juta, namun hingga bulan Juni ini jumlah peserta JKN sudah mencapai 123 juta penduduk Indonesia.

#Kedua. Rieke mengatakan bahwa KIS mengembalikan jaminan penyelenggaraan kesehatan sesuai undang-undang. Sistemnya penyelenggaranya adalah melalui BPJS selaku badan, sementara KIS adalah programnya. Pertanyaannya, apakah JKN yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan sekarang ini tidak sesuai Undang-Undang?

Faktanya, sampai saat ini  JKN sesuai dengan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS, termasuk JKN dilaksanakan bertahap. JKN adalah bagian dari sistem besar yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional. JKN merupakan sistem dimana terdiri dari beberapa subsistem diantaranya penyelenggara BPJS Kesehatan, Regulasi, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepesertaan, Pembiayaan dan Pengawasan.

#Ketiga. Politikus PDIP, Rieke menyatakan bahwa KIS juga tidak ada sekat kedaerahan sebab cakupan cakupan pelayanan KIS akan lebih luas. KIS akan berbeda dengan kartu BPJS hanya bisa digunakan untuk di wilayah tempat kartu itu diterbitkan untuk menerima pelayanan kesehatan. 

Faktanya, salah satu prinsip JKN adalah portabilitas, dimana peserta JKN diberikan jaminan kesehatan berkelanjutan meskipun mereka pindah pekerjaan, pindah tempat tinggal, maupun berbeda daerah dalam wialayanan NKRI. Saya sarankan, mbak Oneng nongkrong di RSCM dan silahkan tanya pasien JKN darimana saja mereka berasal. Pasien JKN yang dirawat di RSCM berasal dari hampir seluruh wilayah Indonesia.

#Keempat. Dalam beberapa berita disebutkan bahwa Rieke membagi-bagikan kartu Indonesia Sehat kepada penduduk, misalnya seperti saat kampanye di Taman Bungkul Surabaya. Pertanyaannya, apakah kartu KIS yang dibagikan itu bisa berlaku saat ini?

Saya sangat berharap bahwa penerima KIS tidak menggunakannya ketika berobat ke Puskesmas dan Rumah Sakit saat ini. Karena pasti tidak berlaku. KIS belum bisa dipakai. Mengapa demikian? Ya karena saat ini, KIS baru sebatas rencana, janji politik dan tidak punya legalitas. Saat ini jika ingin berobat, gunakan kartu JKN yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan.
Dari 4 paparan rencana dan fakta diatas, apakah bisa dikatakan KIS adalah penyempurnaan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sebagaimana diklaim oleh Rieke Dyah Pitaloka? Tentu tidak. Sejauh ini apa yang disampaikan oleh Rieke, Timses Jokowi bahkan Jokowi-JK sendiri, rencana dan konsep KIS tidak lebih baik dari JKN-nya BPJS Kesehatan. Lalu mengapa Jokowi dan timses terus berkampanye dan jualan KIS? Apa urgensi KIS, jika tidak berbeda dengan JKN?

Saya, sebagai rakyat Indonesia yang peduli JKN, hanya khawatir ada upaya penggiringan opini bahwa KIS itu program orisinal dan benar-benar baru dari salah satu pasangan capres/cawapres. Saya khawatir ada pihak yang sengaja mengaburkan, melemahkan bahkan menggalang isu bahwa program JKN telah gagal (tidak berhasil), oleh karenanya perlu ada KIS.

Padahal faktanya, pelaksanaan JKN telah pada jalur yang tepat dan tahapan yang benar. Tidak dipungkiri ada beberapa masalah dalam pelaksanaan JKN, tapi itu tak bisa jadi pembenaran dimunculkannya konsep dan rencana baru sistem jaminan kesehatan nasional. Karena sesungguhnya JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan merupakan konsensus nasional yang didasarkan pada UUD 1945, UU SJSN dan UU BPJS.

Pada bagian akhir tulisan saya ini, jika boleh saya memberikan saran kepada Pak Jokowi, Bu Rieke dan Timsesnya, khususnya program apa yang bisa dilaksanakan dalam hal sistem jaminan kesehatan nasional. Atau barangkali Pak Prabowo-Hatta berminat? Kata kuncinya adalah penguatan dan percepatan pelaksanaan JKN dan BPJS Kesehatan. Seperti apa konkritnya? Misalnya saja:

  • Percepatan pelaksanan peta jalan (roadmap) JKN dari 5 tahun menjadi 4 tahun.

  • Meningkatkan iuran Peserta Bantuan Iuran (PBI) dari Rp 19.225/perbulan/perorang menjadi Rp 22.000 atau Rp 27 ribu dalam waktu 2 tahun. Seperti diketahui, Kementerian Kesehatan pernah menyampaikan 3 usulan iuran PBI yaitu Rp 19 ribu, Rp 22 ribu dan Rp 27 ribu.

  • Penguatan fasilitas pelayanan primer dan lanjutan ( puskesmas dan rumah sakit) berikut sistem rujukan nasional dan regional.

  • Memberlakukan nomer panggilan gawat darurat 119 secara nasional dalam jangka waktu 2 tahun.


Dan lain-lain, masih banyak lagi program yang bisa ditawarkan secara konkrit terukur oleh pasangan capres/cawapres khusus dalam hal sistem jaminan kesehatan nasional. Bukan sebaliknya, sekedar menawarkan jargon dan janji politik yang sebenarnya secara substansial sama dengan program yang sudah berjalan. Dan membungkus jargon itu seolah-olah baru dan lebih baik, padahal rencana konsepnya tidak jelas dan faktanya program lama lebih baik.

Saya tidak anti Jokowi. Saya juga tidak menolak KIS. Saya akan mengakui siapapun nanti yang terpilih menjadi Presiden RI, Jokowi atau Prabowo. Saya juga akan mengakui siapapun Menteri Kesehatan yang salah satu tugasnya adalah urusan jaminan kesehatan nasional. Namun demikian, pengakuan itu tidak akan mengurangi sikap kritis dan kebebasan berpendapat.

Saya peduli terhadap sistem Jaminan Kesehatan yang memberi manfaat bagi rakyat Indonesia. Saya tidak setuju terhadap upaya dis-informasi dan de-legitimasi JKN yang telah diselenggarakan BPJS Kesehatan saat ini. Sebaliknya, saya akan mendukung sepenuhnya upaya memperkuat dan mempercepat pelaksanaan JKN demi Indonesia Lebih Sehat.

Senin, 16 Juni 2014

, , , , , , , , , , , , ,

Menerawang Kartu Indonesia Sehat-nya Jokowi

Siapa yang mampu menjelaskan apa itu Kartu Indonesia Sehat (KIS)? Apa bedanya dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan?

Saat ini, mungkin hanya Pak Joko Widodo yang mampu menjawabnya. Tidak ada penjelasan komprehensif tentang KIS. Kalau pun toh ada keterangan, itu pun sangat sedikit. Semalam dalam debat Capres, Pak Jokowi telah menunjukkan bentuk kartu KIS. Namun tidak ada penjelasan yang jelas, apa dan bagaimana KIS nanti.
Untuk sedikit mengerti apa itu KIS, saya mengajak anda mempelajari sedikit petunjuk atau sinyal yang dikirimkan oleh Jokowi atau tim suksesnya.

Dalam kampanye di Tasikmalaya, Jokowi menyampaikan bahwa :

  1. Sistem Kartu Indonesia Sehat, lanjutnya, mengadopsi milik Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang sudah berjalan di Jakarta

  2. Kartu Indonesia sehat adalah penyempurnaan dari sistem BPJS Kesehatan


Poempida (Timses Jokowi) menyatakan bahwa dengan adanya Kartu Indonesia Sehat, program BPJS akan lebih mudah diterapkan tentunya. Masyarakat tinggal membawa kartu, tanpa persyaratan muluk. Timses Jokowi lainnya, Rieke Dyah Pitaloka, menambahkan bahwa Kartu (KIS) ini tidak terpengaruh domisili pengguna namun untuk nasional.

Mengutip pernyataan Pak Nizar Shihab (Pansus BPJS DPR) menyitir pendapat Pak Surya Chandra (Timses Jokowi) bahwa baik dalam program BPJS maupun KIS, masyarakat diwajibkan masuk asuransi dan membayar iuran. Untuk masyarakat kurang mampu, kata Nizar, pemerintah akan membiayainya dengan APBN. Dengan kata lain, kata pak Nizar, BPJS dan KIS sama saja, capres Jokowi hanya memberi nama baru saja.

Jika kita amati seksama, beberapa petunjuk diatas, sedikit bisa terkuak apa itu KIS sebagaimana disampaikan Pak Nizar bahwa Kartu Indonesia Sehat (KIS) hanyalah nama baru dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
KIS bukanlah sistem jaminan kesehatan sosial yang baru sebagaimana yang digembar-gemborkan Pak Jokowi. Sinyalemen bahwa KIS hanyalah kemasan nama baru dari JKN diperkuat dengan pernyataan Pak Jokowi sendiri bahwa KIS mengadobsi Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diterapkan di Jakarta selama Jokowi menjadi Gubernur 1,5 tahun ini. Ini semakin jelas bahwa modus KIS sama dengan KJS.

Untuk lebih jelasnya, mari kita bedah sedikit apa itu KJS? Sukseskah di Jakarta?

Fakta 1, KJS bukan produk baru. Begitu dilantik Gubernur, Jokowi memberi nama program Jamkesda dan SKTM yang sudah dijalankan oleh gubernur Fauzi Bowo menjadi Kartu Jakarta Sehat. Jamkesda dan KJS sama-sama diperuntukkan untuk orang miskin, menggunakan APBD, dan sistem Paket Pelayanan Esensial (PPE).

Fakta 2, KJS mengadobsi sistem pembiayaan JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Ketika pertama dijalankan, KJS menggunakan sistem diagnosa penyakit dan pembayaran dengan PPE sebagaimana dijalankan Jamkesda. Karena Jokowi hanya mensyarakatkan cukup dengan KTP untuk mendapatkan layanan KJS, maka terdapat eforia penduduk Jakarta mendapatkan layanan kesehatan di Rumah Sakit. Akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran APBD sehingga Pemda sempat menunggak Rp 355 milyar kepada rumah sakit. Untuk menghindarkan membengkaknya APBD, maka Pemda mengalihkan sistem pembiayaannya dengan pembiayaan INA CBGS (Kementerian Kesehatan) yang digunakan untuk JKN.

Fakta 3, KJS tidak mencakup seluruh penduduk Jakarta. Dari data jumlah penduduk yang harus ditanggung KJS sebanyak 4,7 juta penduduk, ternyata Pemda KJS baru menjangkau 2,3 juta penduduk. Dan sejumlah 2,3 juta penduduk itulah yang saat ini diintegrasikan dengan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Ditambah penduduk miskin sebanyak 1,2 juta yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Bagaimana sisanya? Coba tanya ke Pak Jokowi deh.

Fakta 4, Jakarta tidak memiliki sistem rujukan regional kesehatan. Persoalan utama membludaknya pasien di rumah sakit adalah sistem rujukan kesehatan di pelayanan primer dan rujukan yang tidak berjalan. Namun faktanya, sampai saat ini tidak ada Peraturan Gubernur yang mengatur bagaimana sistem rujukan kesehatan regional sebagaimana dihimbau oleh Kementerian Kesehatan. Di satu sisi, Rieke (timses Jokowi) mengatakan portabilitas, tetapi ternyata Jakarta yang dijadikan model KIS saja tidak mempunyai regulasi sistem rujukan regional.

Fakta 5, Jakarta perlu peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Ada fakta menarik, bahwa selain rumah sakit daerah, diwilayah Jakarta banyak disokong oleh banyak sekali Rumah Sakit Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan). Seperti kita ketahui, RSCM, RS Persahabatan, RS Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Dharmais dan lain-lain, merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional dengan fasilitas lengkap. Namun itu pun tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan yang bersifat intensif dan severity level tingkat lanjut seperti NICU, ICCU, PICU. Artinya, ini ada persoalan yang lebih mendasar dari sekedar merubah JKN menjadi KIS. Jika di ibukota negara saja fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan, bagaimana dengan wilayah lain di Indonesia?

Fakta 6, KJS hanya setingkat Provinsi sedangkan JKN tingkat Nasional. Jamkesda atau penggantinya KJS dilaksanakan hanya dengan Keputusan Gubernur. Tentu cukup membutuhkan kebijakan dan keputusan  selevel Gubernur saja dalam pelaksanaannya. Sedangkan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dilaksanakan dengan landasan UUD 1945 dan seperangkat Undang-Undang (SJSN, SJSN). Undang-Undang dibentuk dengan persetujuan DPR yang tentu saja bukan perkara mudah mengubah suatu kebijakan.

Itu sedikit fakta tentang KJS. Sementara fakta lain di sisi JKN sudah sangat menggembirakan. Mari kita lihat sedikit.

Fakta 1, Rumah sakit mengalami surplus balance. Ketika muncul pertama kali, JKN diisukan akan membangkrutkan rumah sakit. Tarif INA CBGS dikabarkan terlalu rendah. Faktanya, setelah bulan Februari klaim rumah sakit masuk, ternyata rata-rata 96 persen rumah saki mengalami surplus balance. Dengan kata lain, rumah sakit untung. Karena ternyata tarif INA CBGs banyak yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif RS selama ini.

Fakta 2, Jumlah Peserta JKN tahun 2014 melampaui target. Menurut peta jalan JKN, bahwa pada akhir tahun 2014 ini, jumlah peserta JKN adalah 121 juta penduduk. Ternyata terhitung sejak bulan Juni ini sudah tercatat Rp 123 juta penduduk. Itu sudah termasuk lebih dari 2 juta penduduk dengan kepesertaan mandiri.

Fakta 3, Sistem INA CBGs pelayanan kesehatan menjadi semakin efektif. Sistem INA CBGs adalah sistem paket pelayanan dalam diagnosa penyakit. Ini berbeda dengan pelayanan fee for service, dimana biaya didasarkanp ada setiap tindakan kesehatan. Dengan sistem INA CBGs rumah sakit dan tenaga kesehatan diharuskan efektif tanpa mengurangi mutu layanan.

Fakta 4, JKN terus disempurnakan. Sudah banyak peraturan dan kebijakan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka perbaikan sistem JKN ini. Tarif INA CBGs dan Kapitasi pun sudah diperbaiki. Lambat laun pun rakyat Indonesia semakin menyadari betapa besarnya manfaat dari JKN ini.

Dari penjelasan diatas, baik dari petunjuk tentang KIS disampaikan pak Jokowi dan tim, juga paparan fakta-fakta atas KJS dan JKN tersebut, apa yang dapat anda simpulkan? Mungkin kesimpulan kita sama, apa urgensi dari Kartu Indonesia Sehat ini?

Sejauh ini, belum ada diferensiasi KIS atas JKN. Cukuplah, KJS menjadi bukti cara kerja Pak Jokowi bagaimana KIS ini ke depan. Kesimpulannya, sepertinya KIS hanya nama baru dari JKN.

Kamis, 12 Juni 2014

, , , , , , , , ,

Membantah Pernyataan Jokowi Bahwa BPJS Kesehatan Adaptasi KJS

Saya kutipkan berita online Kompas berjudul," Jokowi Mengaku Tak Tahu Bedanya Kartu Indonesia Pintar dengan BPJS Kesehatan", sebagai berikut:
"Program kartu Jakarta sehat juga telah diadaptasi oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam skala nasional dan dinamakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai awal tahun 2014.
Lalu, apa bedanya konsep kartu Indonesia sehat dengan BPJS Kesehatan?
Saat ditanyakan hal itu, Jokowi pun menjawab lugu. "Saya nggak tahu," katanya sambil tersenyum saat ditemui usai berkampanye di hadapan para nelayan di Medan Labuhan, Sumatera Utara, Selasa (Kompas,10/6/2014)"

Bagi saya ada 2 hal menarik dalam berita diatas:

Pertama, untuk kesekian kalinya Jokowi mengklaim bahwa program Kartu Jakarta Sehat diadaptasi menjadi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan. Ini memunculkan persepsi seakan-akan JKS adalah cikal bakal JKN. Atau JKN meniru program KJS.

Yang kedua yang menarik adalah Jokowi tidak bisa membedakan antara program JKN atau BPJS Kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat, salah satu program prioritas visi misi Jokowi-JK.

Sebagai rakyat Indonesia yang menaruh perhatian pada dunia kesehatan khususnya Jaminan Kesehatan Nasional, saya merasa terpanggil tanggung jawab sosialnya untuk menanggapi berita ini.

Ada kekacauan logika berfikir dalam penulisan berita tersebut. Pernyataan pertama mengatakan:
"Program kartu Jakarta sehat juga telah diadaptasi oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam skala nasional dan dinamakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai awal tahun 2014"

Kalimat ini mengandung makna bahwa KJS diadaptasi (baca: ditiru, cikal bakal) program BPJS Kesehatan. Jika demikian, Jokowi semestinya sangat mengerti (sekurangnya yang mendasar) apa itu BPJS Kesehatan. Bukankah BPJS Kesehatan diadaptasi dari KJS?

Namun ketika ditanya apa bedanya konsep kartu Indonesia sehat dengan BPJS Kesehatan, Jokowi senyam senyum menjawab,"Saya tidak tahu". Loh, kok bisa nggak nyambung gitu. Kalimat diawal mengklaim BPJS kesehatan adaptasi KJS, sementara Kartu Indonesia Sehat juga program prioritas Jokowi-JK jika terpilih Presiden/Wapres, tetapi mengapa tidak tahu beda keduanya? Sungguh alur pikir yang tak logis.

Baiklah, lupakan alur pikir pemberitaan (pernyataan) diatas yang tidak logis. Saya akan ceritakan secara singkat apa itu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan. Dan ada hubungan seperti apa dengan kartu Jakarta Sehat yang dibanggakan Jokowi itu.

Jaminan Kesehatan Nasional dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2014 sebagai amanat dari UU SJSN (2004) dimana seluruh penduduk Indonesia harus mempunyai Jaminan Sosial termasuk Jaminan Kesehatan. Jaminan Sosial diselenggarakan secara nasional oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Tahun 2011, lahirlah UU BPJS yang mengatur BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah penyelenggaran jaminan kesehatan yang disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

JKN berlaku di seluruh Indonesia termasuk Jakarta dengan sistem pembiayaan INA CBGS sebagai kendali mutu dan kendali biaya. Tarif INA CBGS menggunakan sistem prospective payment atau sistem paket yaitu pembayaran perawatan pasien secara paket berdasarkan diagnosis atau kasus yang relatif sama.

Sebelum JKN mulai dijalankan 1 Januari 2014, dilakukan ujicoba atau pilot project di 3 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Itulah gambaran singkat JKN, sekarang giliran sekias cerita Kartu Jakarta Sehat. Setelah resmi menjadi Gubernur Jakarta, Jokowi meluncurkan secara resmi Kartu Jakarta Sehat (KJS) bulan November 2012. KJS adalah bagian dari janji kampanye Jokowi.

Sesungguhnya KJS adalah program jaminan kesehatan bagi penduduk Jakarta yang pada Gubernur sebelumnya (Fauzi Bowo) bernama Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Bedanya, jika Jamkesda hanya menanggung sekitar 2,7 juta penduduk miskin dan tidak mampu, KJS dijanjikan menanggung seluruh penduduk Jakarta sebanyak 4,7 juta jiwa. Berbeda dengan Jamkesda yang penggunaannya harus dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM), KJS cukup menunjukkan KTP Jakarta untuk dapatkan layanan kesehatan yang nantinya ditanggung APBD Jakarta.

Baru 2 bulan berjalan, anggaran Jamkesda sekitar 700 milyar sudah ludes. Pada akhir tahun 2012, Pemda DKI Jakarta berhutang tunggakan tagihan kepada Rumah Sakit sebesar 355 milyar. Jebolnya APBD ini dapat difahami karena terjadi eforia sosiologis dan mudahnya dapatkan jaminan hanya dengan KTP Jakarta.

Janji politik terlanjur diucapkan. Popularitas dipertaruhkan. Namun APBD juga tidak bisa dibiarkan jebol terus menerus. Ketika Jokowi bertanya kepada Dinas Kesehatan, adakah cara agar pelayanan KJS bisa dilaksanakan tanpa menjebol APBD? Dinas Kesehatan menyodorkan alternatif menggunakan sistem pembiayaan INA CBGS milik Kementerian Kesehatan. Sebelumnya KJS menggunakan Paket Pelayanan Esensial (PPE), yang meskipun penghitungan secara paket namun berbeda dengan INA CBGS.

Pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan juga sedang persiapan penerapan JKN dengan sistem INA CBGS sehingga dicari daerah pilot project. Gayung bersambut, maka permintaan DKI Jakarta untuk menggunakan INA CBGs dijadikan momentum oleh Kementerian Kesehatan sebagai pilot project. Akhirnya KJS bisa berjalan dengan baik tanpa APBDnya jebol seperti sebelumnya.

Saat ini, sebagaimana amanat Undang-Undang bahwa Jamkesda diintegrasikan ke sistem JKN, maka saat ini KJS telah diintegrasikan dengan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Jumlah peserta KJS yang didaftarkan integrasikan JKN adalah 2,3 juta penduduk. Sementara 1,2 juta penduduk Jakarta ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Artinya, tidak seluruh penduduk Jakarta ditanggung KJS atau APBD Jakarta.

Dari penjelasan singkat diatas, dapat disimpulkan bahwa: TIDAK BENAR jika dikatakan program JKN atau BPJS Kesehatan diadaptasi dari kartu Jakarta Sehat (KJS). Justru sebaliknya, program KJS TERSELAMATKAN oleh sistem INA CBGS yang sejak awal merupakan sistem yang dipersiapkan untuk JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.

Sejak awal saya sudah katakan, jangan politisasi KJS. Ternyata Jokowi menggunakan kepopulerannya untuk menaikan level KJS dengan diklaim sebagai cikal bakal BPJS Kesehehatan. Sungguh terlalu!

Jadi yth pak Jokowi, apa itu program Kartu Indonesia Sehat? Sungguh terlalu jika anda menjawab, "saya nggak tahu".

Sabtu, 22 Maret 2014

, , , , , ,

Layani pasien JKN, RS Swasta Terbukti Tidak Rugi

Pada awal berlakunya, muncul isu bahwa Jaminan Kesehatan Nasional akan merugikan rumah sakit. Bahkan sebelum 1 Januari 2014 pun telah berhembus kabar tarif INA CBG’s dianggap kecil sehingga bisa membuat rumah sakit bangkrut. Perpindahan sistem pembayaran tarif rumah sakit dari yang tadinya Free for Service (FFS) menjadi INA-CBG's diklaim awalnya sangat merugikan rumah sakit. Namun faktanya, kabar itu tidak benar.

Sejak akhir Februari, setelah tagihan pembayaran pasien JKN diajukan kepada BPJS, ternyata banyak rumah sakit yang mengalami neraca positif (positive balance).

“Setelah kami hitung, Rumah Sakit kami tidak saja mengalami untung, tetapi bonus. Dengan tarif INA CBGs sama saja dengan tariff RS, kami sudah surplus. Apalagi banyak juga tariff INA CBGs lebih tinggi dari tariff RS kami. Jadi kami dapat bonus”, demikian dikatakan dr Ediansyah, Direktur RS Anissa Tangerang, pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Denpasar lalu.

dr Ediansyah juga mengungkapkan bahwa ditengah kekhawatiran rumah sakit lain, RS Anissa Tangerang berpikir positif dengan pelayanan JKN. Oleh karenanya, jauh hari sebelumnya, RS melakukan persiapan yang semestinya. Justru dengan JKN, jumlah pasien mengalami peningkatan.

Hal yang sama diakui dr Sigit Gunarto, Direktur RS Al Islam Bandung. “Pelayanan JKN kami alhamdulillah lancar. Kami sejak 6 bulan sebelum dimulainya JKN sudah melakukan persiapan karena memang di awal muncul isu kekhawatiran. Kami melihat ini justru peluang”, kata dr Sigit pada konferensi pers yang diadakan di Media Center BPJS Kesehatan.

Pelayanan JKN tidak menyebabkan rumah sakit rugi juga dialami RSI Jemursari Surabaya. “Dengan pengelolaan yang benar, rumah sakit kami bisa memperoleh surplus lewat pembiayaan bertarif INA-CBGs, sehingga pasien merasa puas karena terlayani dengan baik, rumah sakit pun mendapatkan keuntungan,” kata Notrisia Rahmayanti, Manager Informasi dan Kerjasama RSI Jemursari Surabaya.

Beberapa pihak mengklaim bahwa tarif paket JKN tidak sesuai dengan tarif rumah sakit swasta. Namun informasi dari tiga rumah sakit swasta tersebut seakan membantah isu itu.

RS Annisa Tangerang, RS swasta kelas C yang berlokasi di Tangerang semakin banyak menerima kunjungan pasien sejak berlakunya JKN. Dari yang biasanya rata-rata 80 pasien per hari, kini meningkat menjadi 120 pasien per hari. Ini berarti kualitas rumah sakit mendapatkan respons positif dari pasien.

Dari data yang dipaparkan, bahwa implementasi dari Januari sampai Februari 2014 dari total 2.978 pasien rawat jalan, total billing rumah sakit Rp 410 juta dan setelah ditagihkan dengan tarif INA-CBG's justru jumlahnya Rp 505 juta. Ada pendapatan tambahan Rp 95,9 juta atau sekitar 19 persen.

Sementara untuk rawat inap, dari total 569 pasien dan billing rumah sakit Rp 1,4 miliar, jumlah yang dibayarkan sesuai tarif INA-CBG's adalah sebesar Rp 2,1 miliar. Ini berarti ada tambahan pendapatan Rp 670 juta atau sekitar 32 persen.

Seakan mempertegas fakta diatas, pada acara Rakerkesnas lalu dr Bambang Wibowo, Ketua Ketua National Casemix Center (NCC), mengungkapkan bahwa dari data klaim pelayanan JKN yang masuk hingga awal Maret, Rumah Sakit mengalami surplus sebesar 97% RS kelas D, 96% RS kelas C dan kelas B dan 100% untuk RS kelas A.

Dr Bambang mengungkapkan beberapa tips agar RS mengalami neraca positif dalam melaksanakan pelayanan pasien JKN.

  1. Kurangi inefisiensi pelayanan rumah sakit. Pilih obat-obat yang cost effective, tanpa menurunkan mutu pelayanan. Begitu juga dengan alat medik habis pakai, efisiensi dalam melakukan pemeriksaan penunjang dan menentukan lama perawatan. Biasanya obat itu mencapai 30-35 persen dari biaya rumah sakit. Padahal di negara lain itu tidak lebih dari 20 persen.

  2. Memperbaiki mutu, standar, dan pelayanan rekam medik. Diakui saat ini memang belum ada indikator mutu yang lebih jelas. Tapi rumah sakit dapat menyusun clinical pathway sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan profesi masing-masing.

  3. Memperbaiki dan mempercepat penyelesaian klaim ke BPJS. Menurut UU, proses verifikasi dan pembayaran klaim maksimal dilakukan BPJS dalam waktu 15 hari. Jika lebih dari jangka waktu tersebut, BPJS dikenakan denda sebesar 1 persen dari total tagihan klaim. Semakin cepat memberikan klaim, maka proses pembayaran akan semakin cepat selesai.

  4. Tingkatkan pemahaman konsep INA-CBG's di rumah sakit. Hal ini termasuk mulai dari level manajemen hingga level dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Dokter disarankan secara profesional membuat panduan praktik klinik yang disetujui oleh level rumah sakit berdasarkan tarif INA-CBG's. Jika rumah sakit bisa melakukan ini dengan baik, maka mutu tidak akan turun dengan biaya yang lebih efisien.


Akhirnya terbukti bahwa isu rumah sakit bakal rugi akibat program JKN itu tidak benar. Lagi pula terasa janggal, program baru diluncurkan namun RS sudah heboh khawatir rugi. Semoga dengan JKN, pasien tenang dan rumah sakit pun senang.

Kamis, 24 Oktober 2013

, , , , , , ,

Benarkah Rakyat Miskin Dapat Berobat Gratis?

"@SBYudhoyono: Dgn BPJS Kesehatan, rakyat miskin dpt berobat & dirawat gratis di Puskesmas & rumah sakit. BPJS utk penuhi hak hidup sehat bagi semua."

Mari kita perhatikan kicauan akun resmi twitter Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah pencanangan BPJS di Sukabumi kemarin. Pernyataan Presiden tersebut nampak pro rakyat. Saya mendukung program populis. Tetapi saya berhati-hati pernyataan yang bernuansa politis. Sekilas tak tampak tak ada yang salah dengan kicauan akun @SBYudhoyono tersebut. Namun tanpa sadar bisa menimbulkan sesat pikir. Benarkah dengan BPJS Kesehatan, rakyat miskin dapat berobat dan dirawat gratis di Puskesmas & rumah sakit?

Sejenak saya ingin sampaikan peristiwa menarik pada kegiatan Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Makassar awal tahun ini. Ini juga terkait pandangan pejabat publik tentang "pengobatan gratis" bagi rakyat miskin ini. Sebagai pembicara utama, Menteri Kesehatan dan Gubernur Sulawesi Selatan berbeda pandang dan saling adu argumen secara sengit dihadapan peserta Rakerkesnas. Ujung pangkal persoalan adalah pandangan Pak Gubernur bahwa dengan adanya Jamkesmas dan Jamkesda maka rakyat dapat berobat gratis. Ibu Menkes, sebagai penanggung jawab program Jamkesmas, tidak setuju dengan pandangan itu. Sebab, kata Ibu Menkes, biaya pengobatan rakyat miskin di rumah sakit dan puskesmas ditanggung oleh negara. Besarnya anggaran Jamkesmas lebih dari Rp 7,4 trilyun diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Tentu saja Gubernur Sulsel tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Karena pengobatan gratis itu sebagaimana janjinya pada kampanye Pemilu Kepala Daerah. Pokoknya, rakyat tahunya gratis, tidak keluar uang, begitu Pak Gubernur bersikukuh.

Ibu Menkes tentu bisa memahami cara pandang para Gubernur, Bupati dan Walikota tentang pengobatan gratis bagi rakyat miskin. Karena itu janjinya saat kampanye, agar terlihat populis. Tetapi kemasan bahasa ini bisa menimbulkan sesat pikir dan cenderung pembodohan. Kata "Gratis" bisa menyesatkan rakyat seakan-akan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan semaunya dan tidak bertanggung jawab. Karena merasa tidak mengeluarkan uang seperser pun. Padahal Negara mengalokasikan anggaran trilyunan rupiah untuk itu. Benar rakyat tidak keluar uang langsung, tetapi negara membayar biaya berobat itu. Oleh sebab itu Menkes menghimbau agar para Kepala Daerah menyampaikan fakta secara apa adanya. Dengan Jamkesmas, juga Jamkesda, biaya berobat bagi orang miskin ditanggung oleh Negara melalui APBN dan APBD. Oleh sebab itu, gunakan secara bertanggung jawab, bijak dan sesuai indikasi medis.

Dari gambaran tiga pandangan Pejabat Negara tersebut; Presiden, Menkes dan Gubernur Sulses, kita bisa melihat bagaimana sudut pandang dan kemasan bahasa yang disampaikan kepada masyarakat. Presiden dan Gubernur Sulsel adalah Pejabat publik yang diajukan oleh Partai Politik dan dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Cara pandang dan bahasa yang digunakan cenderung memilih kesan populis. Karena itu sebagai pemanis dan pemupuk citra politiknya. Sementara itu, Menkes adalah pejabat publik yang diangkat presiden didasarkan pada kapasitas profesionalnya. Menkes mempunyai cara pandang dan kemasan bahasa yang faktual apa adanya. Dari pernyataaan Menkes, kita bisa fahami ada makna edukasi kepada masyarakat.

Seorang kawan saya berkata,"kan sama saja mas. ditanggung APBN sama saja gratis bagi rakyat". Tentu saja beda. Mari kita urai sedikit dengan analogi sederhana. Anda makan di sebuah Warteg dengen menu favorit nasi sepiring penuh, sayur lodeh, jengkol, oreg tempe, ikan kembung dan segelas es teh. Setelah sendawa tiga kali karena kekenyanangan, bertanyalah kepada penjaga warung.

"Sudah nih pakde. berapa semua?"

"Wah, tidak usah bayar. Saya sudah senang lihat sampean makan. berarti masakan saya enak"

"Bener pakde, gratis nih. Saya gak perlu bayar? jadi enak nih. ngomong-ngomong, pakde masih punya anak perempuan singel nggak?"

Nah ini ngelunjak namanya. Tapi pasti hatinya seneng, karena tanpa mengeluarkan uang perut pun kenyang. Demikian juga Pakde, pemilik warteg, hanya cukup merasa puas dengan "kerakusan" pelanggannya dalam menyantap makanan. Meski demikian, ia tak menerima uang sebagai imbal jasa.

Tapi akan beda dengan jika dialognya begini.

"Sudah nih pakde. berapa semua?"

"Oh, sudah dibayar semua oleh cewek yang duduknya di samping sampean tadi"

"Ah, yang bener? Jadi saya ditraktir nih. Ngomong-ngomong, cewek tadi siapa ya Pakde?. Saya ndak kenal je"

"Lah, saya kira itu teman sampean"

Ya sudahlah, yang penting bisa makan kenyang tanpa bayar, alias ditraktir. Pakde, pemilik warteg, juga tak kehilangan haknya untuk menerima uang sebagai imbal jasa makanannya. Secara manusiawi, anda akan merasa tidak enak hati dan malu, akan makan sepuasnya "cenderung rakus" bila tahu ditraktir. Sebaliknya, jika tahu ditraktir sampean akan makan secukupnya. Kecuali memang, tidak tahu diri.

Dari analogi cerita itu, disebut "GRATIS" jika penerima layanan tidak mengeluarkan uang dan pemberi layanan tidak menerima uang. Akan beda, jika penerima layanan tidak mengerluarkan uang, namun pemberi layanan tetap mendapatkan uang sebagai hak imbal saja. Demikian juga dalam program Jamkesmas, Jamkesda dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) nantinya. Negara menanggung iuran sebesar Rp 19.200 bagi setiap penduduk miskin dan tidak mampu. Negara menanggung sebanyak 96,4 juta rakyat miskin dan tidak mampu. Itu artinya Negara mengeluarkan anggaran sebesar hampir Rp 20 trilyun dari APBN. Uang itu nantinya akan dibayarkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan puskesmas, sebagai bentuk imbal jasa bagi rakyat miskin/tidak mampu yang memerlukan pengobatan dan perawatan.

Pertanyaan selanjutnya, darimanakah uang APBN itu? Sebagaimana kita tahu,  APBN berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Rasanya tidak ada orang di Indonesia ini, termasuk rakyat miskin, yang terbebas sama sekali dari pajak. Singkatnya, jika iuran Penerima Bantuan Iuaran (PBI) JKN yaitu bagi rakyat miskin dan tidak mampu, berasal dari APBN. Demikian juga iuran untuk non PBI, sebesar 1% iurannya ditanggung negara melalui APBN. Itu berarti  berasal dari pajak rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kita telah "meng-iur" iuran JKN melalui pajak kita.

Jika demikian, apakah tepat pendapat bahwa dengan BPJS (sebenarnya lebih tepat, JKN)  rakyat miskin dapat berobat dan dirawat gratis di Puskesmas & rumah sakit? Sungguh pernyataan itu tidak mencerdaskan rakyat. Bisa dikatakan, itu pembodohan!

 

Jumat, 10 Mei 2013

, , , , ,

Mengapa JKN 2014 Berprinsip Gotong Royong?

1 Januari 2014 tinggal esok hari. Sejak itu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai berlaku. Amanat Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Hal yang membedakan dengan jaminan kesehatan di beberapa negara lain, JKN menggunakan sistem asuransi sosial dengan prinsip gotong royong. Ini artinya adanya kebersamaan, sinergi dan substitusi iuran antara kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan mudan serta yang beresiko tinggi dan rendah.

Ada pembelajaran dari ASKES, betapa urgensinya prinsip kegotongroyongan. Contoh kasus ada dalam paparan sosialisasi JKN yang disampaikan Pak Usman Sumantri, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes yang terkait dengan pasien Guillian Barre Syndrome (GBS). Masihkan kita ingat dengan kasus GBS yang menghebohkan pertengahan 2011 lalu?

Menurut data Askes, besarnya unit cost per kasus pasien GBS sebesar Rp 900 juta rupiah dengan angka kejadian kurang dari 1 orang dari 15 juta peserta Askes. Jika besarnya biaya ini ditanggung oleh pasien yang bersangkutan, tentu saja sangat berat. Bahkan tidak akan tertutupi dengan premi yang rutin dibayarkan. Namun jika ditanggung iuran dengan prinsip gotong royong, maka iuran peserta Askes yang dikeluarkan adalah 1/15.000.000 x Rp 900.000.000 yaitu Rp 60 perorang pertahun. Atau Rp 5 setiap orang perbulan.

Bandingkan dengan pengobatan influenza. Unit cost sakit Flu Rp 20.000 per kasus. Berdasarkan pengalaman Askes, frekuensi peserta Askes terkena flu adalah sekali setahun. Dengan demikian premi untuk menjamin flu adalah 1/1 x Rp 20.000 yaitu Rp 20.000 per orang per tahun atau Rp 1.650 setiap orang perbulan.

Inilah contoh kasus betapa pentingnya prinsip gotong royong dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional terutama dalam kasus penyakit yang memerlukan biaya pengobatan dan perawatan kesehatan yang sangat besar.

Rabu, 08 Mei 2013

, , , , , , , , ,

2 Isu Penting Rumah Sakit Saat Ini

Hari ini, saya hadir pada acara "Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikan term of reference agar menyampaikan trend bisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.

Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.

Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.

Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.

Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBG's yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit, dan stakeholder lain.

Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.

Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.

Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.

Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.

Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang handal oleh rumah sakit.

Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.