Tampilkan postingan dengan label jurnalis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jurnalis. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Januari 2013

, , , ,

Wartawan Bukan Malaikat

Direktur sebuah rumah sakit panik. Banyak wartawan berkumpul di rumah sakitnya ingin meminta keterangan dan meliput salah satu pasien. Sejak sehari sebelumnya, si pasien dengan sakit dan keadaanya memang menjadi headline pemberitaan di berbagai media massa. Sang Direktur bingung harus berbuat apa. Jika tak memenuhi kemauan wartawan, dia khawatir rumah sakit dituduh menutupi informasi yg semestinya diketahui publik. Tapi dia juga tahu tentang hak pasien berikut rahasia medis/kedokteran.

Bingungnya sang direktur karena dibayangi pada suatu kasus belum lama dimana sebuah rumah sakit lain menjadi "bulan-bulanan" pemberitaan media massa. Memang kasusnya berbeda, namun proses penanganan pers yang tidak tepat menjadikan keadaan semakin buruk. Tentu saja sang direktur tak mau kejadian ini menimpa rumah sakitnya.

Melihat kasus diatas, saya menjadi ingat adagium yang pernah saya dengar; wartawan bukan malaikat. Apa artinya itu?

Pertama, kemauan dan pandangan wartawan tidak selalu benar. Tugas utama wartawan menggali informasi sedalam mungkin, jadi jangan heran kalau mereka banyak bertanya. Niatan awal mereka demi kepentingan publik, maka tak perlu risau jika mereka berani menabrak sekat prosedur birokrasi. Mereka mendasarkan pada keterbukaan informasi, maka tak kenal lelah mendobrak sikap dan ucapan yang terkesan menutupi. Tapi banyak hal yang wartawan belum ketahui. Pertanyaan yang mereka lontarkan bukan berarti menguji, tetapi sering kali memang tidak mengerti. Dengan demikian sikap menghindari wartawan justru menghalangi tersebarnya informasi yang semestinya publik harus tahu. Berani menghadapi wartawan dan menjelaskan duduk permasalahannya dapat memberikan pandangan yang berbeda dari sebelumnya.

Kedua, wartawan bisa dipengaruhi opininya. Bukan hanya wartawan, setiap orang baik secara sadar maupun tidak telah memiliki pola persepsi pada suatu hal. Demikian juga wartawan, apa yang dituliskannya atau diwartakannya tak terlepas dari pandangan pribadi atau korporasinya. Tapi sekali lagi, mereka tak mengetahui setiap masalah. Disitulah justru peluang rumah sakit untuk menjelaskan secara sistematis dilengkapi fakta-fakta sehingga memberi pencerahan si wartawan. Dengan demikian opini yang dibangunnya pun berubah. Wartawan juga seperti manusia lain yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, persahabatan dan kedekatan.

Ketiga, wartawan bisa diajak dialog bahkan kerjasama. Menerima wartawan dengan ramah di dalam ruangan yang nyaman merupakan langkah awal yang baik. Sang wartawan akan merasa dihargai dan dimanusiakan. Saat itulah, kita bisa bicara dengan lebih santai atau malah dari hati ke hati. Berikan informasi yang semestinya on the record. Jangan sekali waktu beri informasi off the record untuk memberi gambaran lebih luas pada sebuah permasalahan. Ini juga sangat membantu dalam membangun hubungan kepercayaan. Dengan demikian akan terjalin dialog dan kerjasama yang positif antara wartawan dan rumah sakit.

Wartawan bukan malaikat, tapi juga jangan perlakukan mereka seperti syaitan. Wartawan juga manusia yang semestinya ditemui, dihadapi dan diajak dialog dengan baik.

Sabtu, 24 November 2012

, , , , ,

Humas Jangan Musuhi Wartawan

Wartawan bukanlah "malaikat", sudut pandangnya masih bisa dipengaruhi. Itulah kutipan dari Arif Zulkifli yang saya masih ingat pada media sharing hari ini. Redaktur Eksekutif Majalah Tempo itu juga mengungkapkan, media online mementingkan kecepatan sedangkan media cetak mengutamakan kedalaman.

Saya bersyukur atas batalnya jadwal ke Medan. Dengan begitu, saya dapat mengikuti acara ini. Mata mengantuk kurang tidur semalam dan lelah menghadapi kemacetan perjalanan dari Bogor sejak pagi buta pun tak terasa. Banyak hal yang saya dapatkan tentang bagaimana media bekerja dan wartawan mencari berita khusunya Tempo.

Misalnya saja, mengapa media lebih sering menonjolkan sikap oposisi kepada Pemerintah dibandingkan memberitakan secara berimbang. Misalnya, seorang pasien miskin tidak mempunyai kartu jamkesmas atau jamkesda namun mengharapkan pelayanan gratis. Rumah Sakit mencatatsebagai pasien umum yang harus membayar dengan uang sendiri. Pasien tidak mau, kemudian pulang. Berita yang muncul di media pastilah pasien ditolak rumah sakit. Sementara kelengkapan yang menjadi kewajiban pasien yang tak terpenuhi tak banyak disinggung. Padahal rumah sakit bingung, siapa yang menanggung biaya pengobatan pasien itu. Alasan media, selain secara idealis, memang dari sononya jurnalis melakukan kontrol terhadap pemerintah. Juga pakem; bad news is good news. Good news is no news.

Yang menarik, pernyataan sekaligus "pengakuan" dari Redaktur Eksekutif Tempo tersebut ketika media belum mendapatkan konfirmasi dari narasumber tetapi tetap menerbitkannya. Karena bisa diartikan melanggar prinsip cover both side atau malah cover all side.

Menghadapi 2 hal diatas, Mas Arif memberi beberapa alternatif solusi. Bisa menyampaikan hak jawab secara cepat tepat atau mengadukan keluhan ke Dewan Pers yang akan memakan waktu lama. Tentu pilihan segera merespon pemberitaan adalah pilihan tepat. Tapi jangan sampai Humas hanya sebagai pemadam kebakaran. Urusan hak jawab adalah persoalan hilir, maka sedapat mungkin urusan hulu dimana konfirmasi wartawan terhadap narasumber harus dipenuhi. Sehingga tak mengakibatkan kerusakan terlanjur terjadi, baru kemudian menyampaikan klarifikasi.

Humas harus mampu menjalin hubungan baik dengan wartawan, tidak saja formal tetapi juga personal. Hubungan baik ini sangat membantu pada saat terjadi krisis kehumasan. Untuk memulainya, lakukan kunjungan ke media yang bersangkutan. Manfaatnya, selain mengklarifikasi pemberitaan juga menjalin relasi yang saling percaya.

Wartawan yang militan pantang pulang sebelum mendapatkan berita dari narasumbernya. Dan wartawan yang baik juga tidak menerima amplop, begitu kata Redaktur Eksekutif Majalah Tempo itu.