Tampilkan postingan dengan label public relation. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label public relation. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Oktober 2013

, , , , , , ,

Jangan Katakan, Apakah Sudah Buat Janji?

Saya bergegas mendahului naik lift menuju lantai 6 di sebuah rumah sakit di kawasan BSD Tangerang. Sebelumnya saya sudah bertanya kepada seorang staf dimana kantor manajemen atau direksi rumah sakit. Saya bersama sekitar 15 orang sengaja berkunjung mendadak untuk meminta klarifikasi atas suatu perkara di rumah sakit tersebut.

Sampai di lantai 6 terdapat seorang resepsionis yang sedang duduk dan sambil bertelepon.

"Selamat siang. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan ingin bertemu dengan direktur atau manejemen rumah sakit". Saya memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud kunjungan, sesaat setelah resepsionis meletakkan gagang telepon.
"Bapak darimana?", tanya resepsionis sambil tetap duduk. Entah tidak mendengar perkenalan saya atau sekedar memastikan.
"Kementerian Kesehatan," saya mengulang dengan lebih jelas.

Dia mengangguk dan kembali mengangkat gagang telepon. Saya mundur beberapa langkah sambil memperhatikan sekeliling.  Di sebelah kanan ada ruangan kecil. Mungkin ruang tamu. Kawan-kawan saya sudah sampai juga di lantai 6. Mereka masih bergerombol di depan lift. Saya melihat ke arah resepsionis, masih bertelepon. Mungkin sedang melapor ke atasannya atau berkoordinasi ke dalam. Tiba-tiba dia berdiri dan memandang ke arah saya.

"Bu, ada tamu dari Kementerian Kesehatan", resepsionis melaporkan kepada perempuan yang datang dari arah belakang dimana saya berdiri.
"Selamat siang Ibu. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan. Ingin bertemu dengan direktur atau dengan manajen rumah sakit"
"Apakah sudah buat janji? Atau kirim surat resmi?," tukasnya tanpa balas memperkenalkan diri. Sorot matanya penuh selidik. Raut mukanya datar tanpa ekspresi keramahan.

"Belum bu. Apakah harus kami buat janji atau kirim surat resmi?," saya bertanya balik.
"Oh tidak. Ada keperluan apa ya?"
"Kami dari Kementerian Kesehatan bersama rombongan dari KKI, IDI, Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi ingin klarifikasi tentang suatu hal dengan direksi. Apakah Ibu, Direkturnya?"
"Oh bukan. Saya bagian dari manajemen. Boleh saya masuk dulu, nanti sebentar kami keluar lagi menemui bapak dan ibu kembali"
"Silahkan. Boleh para pimpinan kami menunggu di dalam ruangan itu?", jawab saya sambil menunjuk ruanh kecil di sebelah kanan.

Wanita itu masuk ke dalam. Resepsionis pun asik menunduk dan membuka-buka sebuah buku. Saya mempersilahkan para pejabat lembaga yg tadi saya sebutkan untuk menunggu di dalam ruang tamu yang hanya cukup sekitar 7 orang.

Saya masih berdiri sambil mematut diri. Dalam hati bertanya, apa yang kurang pada diri saya sehingga mendapat tanggapan yang tak ramah. Resepsionis dan wanita tadi menerima dengan kesan kaku. Malah cenderung diwarnai kecurigaan. Dari busana, saya pakai baju batik dan semi jas lengkap dengan tanda pengenal. Dari tata krama, saya sudah memperkenalkan diri.

"Penampilan saya kurang meyakinkan ya? Sepertinya ibu tadi tak yakin kalau saya dari Kemenkes," canda saya kepada seorang kawan.
"Ah bapak bisa aja. Kayaknya disini sudah biasa begitu. Masa dia nggak lihat bos-bos kita pakai jas dan blus resmi gitu. Malah ada yang pakai seragam. Ada kumisnya lagi," serentak kami berdua terkekeh. Sekedar menghibur diri untuk mengusir kejenuhan. Kurang lebih 30 menit menunggu tak juga ada orang yang menenui kami di ruang tunggu.

Setiap ingat kejadian itu, hingga saya menulisnya saat ini, saya merasa tak habis pikir. Bagaimana sebuah rumah sakit swasta yang terkesan mewah dan besar, namun mempunyai gaya menerima tamu sedemikian kaku dan tidak bersahabat. Alih-alih mengedepankan hospitality dan customer care, sebaliknya justru menagih surat resmi dan menanyakan apakah sudah buat janji.

Seperti sudah kita maklumi bahwa pertanyaan "apakah sudah buat janji" biasa digunakan untuk menyeleksi tamu pimpinan kantor. Atau bahkan jadi alasan untuk menolak tamu karena waktu bos tidak bisa dibuang-buang untuk perkara tamu yang tak penting. Boleh dan sah-sah saja itu diterapkan. Pertanyaannya, kepada siapa dan disaat kapan pertanyaan "apakah sudah buat janji" itu disampaikan?   Semestinya si penanya harus dapat menilai kapan waktu dan kepada orang yang tepat. 

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan publik yang mengedepankan empati dan kepedulian. Tidak hanya staf di garda depan, meski Direktur sekalipun, harus siap menerima tamu untuk mendengar dan menerima keperluannya. Benar, tidak semua tamu harus diterima dan diseleksi Direktur. Namun cara seleksi tamu pun jangan terkesan birokratif, tertutup dan kaku.

Cara terbaik seleksi tamu adalah dengan menanyakan siapa orang dan apa keperluannya. Setelah tahu, kita bisa mengerti seberapa penting si tamu bertemu dengan direktur rumah sakit. Jika memang dianggap penting, jangan sekali-kali menanyakan "apakah sudah buat janji atau kirim surat resmi". Itu tidak etis lagi tak bersahabat. Jika tamu itu pun dirasa biasa saja, barangkali bisa ditawarkan untuk dibantu pejabat atau staf lain selain direktur. Misalnya, "mungkin bisa saya bantu sebelum nanti bertemu dengan atasan saya". Itu berempati lagi ramah.

Kemudian saya coba bandingkan dengan kebiasaan di ruang tata usaha Dirjen. Sepanjang yang saya ketahui, belum pernah staf TU Dirjen menanyakan surat resmi atau buat janji terhadap tamu yang sudah terlanjur bertamu. Tapi prosedurnya tentu ditanya siapa dan apa keperluannya.

Ah, lain lubuk lain ikannya. Membiarkan tamu sekitar 45 menit tanpa kejelasan itu benar-benar perilaku yang tidak berempati lagi tak bersahabat. Apalagi terhadap tamu dari institusi negara dengan tugas khusus. Dan ketidakramahan itu semakin lengkap, setelah kami berinteraksi dengan Direktur rumah sakitnya. Ahh!

Senin, 15 Juli 2013

, , , ,

Haruskah Humas itu Perempuan Muda lagi Cantik?

Ada stereotif bahwa Humas itu perempuan, muda dan cantik. Jadi bagi anda yang secara fisik tidak memenuhi kriteria itu tidak cocok menjadi Humas. Apakah anda termasuk orang berpandangan demikian?

Menurut pengalaman saya, syarat utama menjadi Humas itu harus menarik. Jadi tidak harus cantik atau tampan, melainkan menarik. Pribadi menarik seorang humas dapat dilihat dari tutur kata, sikap, berpakaian juga secara fisik.

Humas disebut menarik jika orang merasa nyaman bicara dengannya. Kenyamanan ini biasanya disebabkan kemauan mendengar dengan seksama keluhan klien. Juga mampu mencerna isi pembicaraan sehingga pasien/keluarga merasa nyambung atau klik. Dan Humas dalam memberikan tanggapan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menarik itu juga dilihat seberapa antusias dan empati kita saat melayani klien.

Tentu saja, menariknya seorang Humas juga harus ditopang dengan penampilan yang profesional seperti berpakaian rapi, bersih dan wangi.

Syukurlah, jika secara fisik dapat terpenuhi humas yang muda dan cantik/tampan itu. Anggaplah sebuah 'bonus"!

Selasa, 20 November 2012

, , , , , , , , ,

Maukah Humas Dipecundangi Twitter?

Saya sedang asik meng-chirpstory kicauan bersambung di twitter tentang iklan klinik tongfang yang menyesatkan. Tiba-tiba sudut mata saya menangkap judul kultwit, begitu istilah keren twit bersambung, yang mengangkat keburukan sebuah rumah sakit. Saya sangat kenal nama rumah sakit itu.

Tak menunggu menit berganti, saya mengarahkan kursor mouse, dan klik! Terpampang lebih dari 50 twit yang membeberkan banyak "dugaan" kebobrokan rumah sakit di bandung itu. Copy, Save dan Print, itu langkah saya selanjutnya. Tanpa babibu lagi, saya telepon direkturnya untuk mengabarkan hal ini. Beliau minta diemail sekalian.

Kicauan di twitter ini membeberkan begitu gamblang nama orang, tempat kejadian dan obyeknya. Dan yg "dibongkar" pun juga macam-macam. Si pemilik akun juga mengancam akan menggali lebih dalam borok rumah sakit. Oleh karena dirasa hal ini sangat potensial merusak citra dan reputasi rumah sakit, maka saya sarankan kepada Direktur agar segera ditangani dengan baik.

Sementara saya pun juga coba menyelidiki akun twitter bergambar profil perempuan seksi ini. Ternyata akun psudonim, samaran. Melihat profilnya, akunnya baru belum lama dibuat. Jumlah twitnya masih sedikit. Dan menariknya, akun ini juga follower dari @triomacan2000 yang terkenal karena sering "membuka" aib seseorang/institusi. Biasanya kasus korupsi. Beberapa minggu sebelumnya akun @triomacan2000 juga melakukan kulwit nyaris seminggu mengeluhkan buruknya pelayanan rumah sakit Indonesia. Meskipun sangat menggeneralisir dan memsimplifikasi persoalan. Bisa jadi, akun pembeber keburukan rumah sakit di bandung ini terinspirasi oleh TM2000 tersebut.

Sedang asik menjadi "detektif", wakil direktur rumah sakit telepon saya. Mungkin diinstruksikan oleh Direkturnya. Dan lagi, minta dikirim via email. Done. Tapi tak berapa lama, manajer humasnya juga telepon. Tanpa diminta humas rumah sakit menceritakan masalahnya. Dan dia kaget, setelah saya informasikan bahwa yang memergoki kultwit di chirpstory itu adalah saya.



Kemudian saya menanyakan apa yg telah dan akan dilakukan humas RS. Betapa kagetnya saya, sebab di-mention dengan keburukannya, akun twitter RS dinonaktifkan atau ditutup sementara. Lebih kaget lagi, humas mengaku bahwa penutupan itu atas perintah Direktur RS. Saya kemudian bertanya kenapa harus dinonaktifkan? Jawabnya, untuk meredam mention-mention dari kultwit susulan seperti yang dijanjikan.

Saya katakan bahwa upaya tutup akun twitter pada saat seperti ini baik sementara atau selamanya bukanlah tindakan yang tepat. Sebaliknya, ajaklah si akun pembeber itu berkomunikasi. Anggaplah sebagai pasien, keluarga atau publik yang sedang menyampaikan keluhannya (complain). Berdialog dengan baik, siapa tahu akun pembeber ini memberikan data pendukung seperti yang dituduhkan.

Menutup akun twitter akibat "serangan" seperti ini jelas semakin memposisikan rumah sakit terpojok. Dapat dijadikan pembenar anggapan sebagaimana dibeberkan. Ingat ya! sedikit atau banyak, rumah sakit memiliki follower. Dan follower ini akan memperhatikan dengan seksama interaksi di linimasa. Di ujung telepon sana, saya membayangkan si manager humas seperti mahasiswa yang mendengar kuliah dosennya. Bagaimana tidak, saya sudah menyerocos banyak tapi hanya sesekali dia menimpali. Di ujung obrolan telepon, manager humas RS akan berusaha menyampaikan saran saya itu kepada direktur. Saya merasa ada nada ragu, sepertinya ada sedikit takut dengan atasannya. Sebenarnya wajar saja. Kemudian saya titip salam untuk direkturnya.

Syukurlah, akun twitter rumah sakit diaktifkan kembali. Saya perhatikan terjadi interaksi diantara keduanya. Seperti kebanyakan akun pseudonim, tak bakal dia mau datang ketika diundang bertemu muka. Tak pula sudi memberikan fakta-fakta. Hanya klaim informasi yang ditwitkan benar. Yang ada menantang rumah sakit untuk melakukan tindakan dan pembenahan.

Akhirnya setelah 3 hari, akun twitter samaran itu pun tutup selamanya. Tetapi kerja keras dan cerdas humas rumah sakit baru saja mulai, yaitu mengembalikan citra rumah sakit yang sempat tercoreng. Tentu saja, bukan tugas yang mudah dan instant sebagaimana membuat dan menutup akun twitter.