Kamis, 28 Februari 2013

, , , , , ,

Boleh Saja Rumah Sakit Meminta Uang Muka, Asal...

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Substansi norma ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak Saudara memahami makna dari aturan tersebut. Kenapa demikian? Karena masih banyak kesimpangsiuran pemberitaan yang cenderung tidak obyektif dan melenceng dari fakta. Bisa jadi hal ini disebabkan kesalahpahaman dan ketidakmengertian. Pertama yang akan kita bahas adalah keadaan darurat atau kegawatdaruratan. Secara terminologi 2 kata ini berbeda, namun substansinya sama. Dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan diatur bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Mari kita perhatikan dengan seksama kalimat diatas. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan wajib diberikan dalam keadaan darurat untuk (1) penyelamatan pasien; (2) pencegahan kecacatan. Jadi disebut keadaan darurat jika tidak segera ditolong dengan pelayanan kesehatan, maka pasien akan cacat atau meninggal dunia. Dalam kondisi inilah, fasilitas rumah sakit termasuk rumah sakit, wajib hukumnya terlebih dahulu menolong pasien tanpa memikirkan bahkan meminta pembayaran uang atau uang muka.

Pertanyaannya, siapa yang dapat mengetahui bahwa pasien dalam keadaan darurat? Tentu tidak semua orang bisa menilai dan menentukan kondisi pasien dalam keadaan darurat. Yang dapat menentukan apakah pasien itu darurat atau tidak adalah dokter yang berkompeten dan disertai kondisi, syarat dan standar tertentu. Sangat sering ditemukan perbedaan pandang antara keluarga pasien dengan tenaga kesehatan rumah sakit. Bisa jadi keluarga menyaksikan kondisi pasien sudah menyimpulkan keadaan darurat, padahal menurut dokter tidak darurat.

Dimanakah tempat atau ruangan rumah sakit sehingga pasien yang menempatinya dapat dikatakan keadaan darurat? Sebagian besar pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan keadaan darurat. Karena tak jarang, pasien yang telah melewati masa kritis masih dirawat di IGD. Kemudian pasien yang mendapatkan perawatan medis intensif seperti di ruang ICU, ICCU, NICU dan PICU.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien yang harus mendapatkan penyelamatan nyawa dan pencegahan kecatatan di ruang IGD dan ruang perawatan intensif, rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dan pertolongan tanpa terlebih dahulu meminta uang muka atau pembayaran. Tetapi ingat, bahwa setiap tindakan, pengobatan dan perawatan pasien harus mendapatkan persetujuan (informed consent) pasien dan/atau keluarganya. Informed consent diantaranya indikasi medis, obat, tindakan medis, risiko medis, termasuk didalamnya informasi pembiayaan.

Nah, pada saat informed consent inilah sering terjadi kesalahfahaman dan disinformasi. Disatu sisi rumah sakit melaksanakan kewajibannya dalam mendapatkan persetujuan tindakan medis, namun pada sisi lain keluarga pasien atau pasiennya menganggap rumah sakit tak punya empati dan tak berperikemanusiaan. Pasien atau keluarga merasa "galau bin sensi", kok bisa-bisanya dalam keadaan kesusahan pasien dan belum melakukan tindakan pengobatan, rumah sakit malah ngomongin biaya! Padahal rumah sakit akan dianggap salah jika tak menginformasikan pembiayaan. Jadi pasien/keluarga harus benar-benar faham, apakah biaya itu sekedar informasi atau sebagai syarat sebelum tindakan pengobatan.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bolehkan rumah sakit meminta uang muka pada bukan keadaan darurat? Ya, kembali pada aturan. Dimana larangan permintaan uang muka oleh rumah sakit hanya dalam keadaan darurat. Tetapi kan memang tidak ada aturan yang mengharuskan rumah sakit meminta uang muka atas layanan yang diberikan.

Uang muka adalah keniscayaan dalam bentuk transaksi sosial sebagai timbal balik atas jasa yang diberikan. Pada kondisi pasien mempunyai pilihan untuk menentukan layanan kesehatan, maka rumah sakit dibolehkan membuat ketentuan, diantaranya uang muka. Sebagai contoh, setelah dilakukan pemeriksaan dan penegakan diagnosa, dokter menyampaikan bahwa pasien disarankan menjalani rawat inap. Ternyata rumah sakit mempunyai ketentuan; jika rawat inap di kelas 3, pasien dapat langsung masuk. Tetapi kalau di kelas VIP, pasien harus menyerahkan uang muka sebesar 3 hari biaya ruangan. Dalam kondisi ini, pasien mempunyai pilihan; apakah menjalani rawat inap di kelas 3 atau VIP. Pasien tinggal memilih; dengan uang muka atau tidak. Gampang kan?

Jumat, 22 Februari 2013

, , , , ,

Bukan Hanya Orang Miskin Dilarang Sakit

Annisa Dera Upik, nama yang cantik bukan? Secantik wajahnya yang tenang menghadap Sang Pencipta. Annisa Dera Upik adalah nama 3 anak manusia yang kematiannya menghiasi media massa dan media sosial pada akhir-akhir ini dan semuanya dengan Rumah Sakit.

Annisa, mahasiswi yang melompat dari angkot yang meninggal di RS Koja namun pemberitaan yang muncul terkait urusan uang muka masuk ICU di RS Atmajaya. Dera, pemberitaannya begitu fenomenal. Bayi mungil lahir prematur dari bayi kembar berumur sekitar 6 hari ini meninggal dunia setelah tak mendapatkan perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di RS Zahirah. Dan terkahir Upik, bayi prematur yang "divonis" 2x meninggal dunia di RS Bersalin Kartini.

Sebuah perumpamaan satire menyertai pemberitaan kematian 3 anak Indonesia ini; orang miskin dilarang sakit. Ini sebuah ironi, ditengah masyarakat yang dipimpin oleh Kepala Daerah dimana pada masa kampanyenya menjanjikan jaminan kesehatan secara gratis.

Sesungguhnya ini bukan perkara orang miskin yang dilarang sakit. Sebenarnya orang kaya pun sebaiknya tidak sakit. Siapa pun dia, kaya atau miskin, akan tersiksa jika sakit mendera. Yang kaya menjadi miskin karena penyakit yang membutuhkan biaya berobat yang tinggi. Yang miskin semakin merana sebab seakan tak ada pilihan, selain pasrah dan menunggu keputusan Yang Diatas.

Siapa yang tak merasa berduka dengan meninggal dunianya Annisa, Dera dan Upik akibat tak berdayaan mendapatkan akses layanan kesehatan semestinya? Masyarakat umum geram dengan pemberitaan yang mengesankan perilaku diskriminasi rumah sakit terhadap orang miskin. Bukan salah mereka; yang geram, yang menghujat, yang menyalahkan rumah sakit dan pemerintah. Bisa jadi itu karena pengalaman pribadi mendapatkan pelayanan yang buruk di rumah sakit. Atau mungkin ketidaktahuan pada apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja harus dimaklumi.

Tetapi bagaimana jika rasa geram dan hujatan disebabkan disinformasi? Atau terprovokasi pemberitaan yang terus diulang dan mencuci pikiran? Sesungguhnya media massa dan media sosial turut bertanggung jawab dalam terpaparnya informasi obyektif dan transparan. Bukan sekedar berita diambil dari sudut pandang yang berpotensi peningkatan rating. Pokok dan subpokok berita yang ujungnya justru penyesatan opini.

Orang miskin dilarang sakit, sungguh sebuah pokok berita satire yang menyesatkan. Alih-alih turut memberikan informasi solutif terhadap persoalan pelayanan kesehatan. Malah sebaliknya, menggelindingkan isu yang jauh dari substansi. Harus diakui, tidak sedikit rumah sakit dengan pelayanan publik dan cita rasa komunikasi buruk. Tetapi banyak juga rumah sakit yang melayani dengan segenap kemampuan pelayanan. Tidak adil rasanya hanya menyalahkan, menghujat dan menghakimi, tanpa mau tahu permasalahan yang dihadapi dunia perumahsakitan.

Setiap orang, miskin kaya, (kalau bisa) dilarang miskin. Siapa yang sanggup, menutupi biaya perawatan NICU atau intensive lain sebesar sekitar Rp 2 juta perhari? Itu diluar biaya obat dan tindakan medis. Atau kita kembali ke pertanyaan dasar; siapa sih yang mau sakit?

Semestinya kita, ya kita semua, jangan biasakan mempertentangkan kelas sosial. Mari kita cerna setiap informasi secara jernih. Ayo, kita fahami permasalahan sebenarnya. Tidak saja Annisa, Dera dan Upik. Tetapi juga Robert, Angel, Melissa, Paijo, Tukiyem dan seluruh anak Indonesia (kalau bisa) dilarang sakit. Kalau pun sakit, mereka segera mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik.

Rabu, 13 Februari 2013

, , , , , ,

Rumah Sakit Dilarang Meminta Uang Muka Dalam Keadaan Darurat

Media massa dan media sosial kembali heboh dengan meninggalnya pasien di rumah sakit. Kali ini tersiar kabar, pasien Anissa yang meninggal dunia di RS Koja, awalnya dirawat di RS Atmajaya. Pada saat akan masuk ruang ICU, pihak RS Atmajaya meminta uang muka sebesar Rp 12 juta. Namun RS Atmajaya menyatakan pasien dirujuk ke RS Koja bukan semata uang muka Rp 6 juta (bukan Rp 12 juta), tetapi juga permintaan keluarga pasien sendiri dengan alasan dekat kerabatnya.

Terlepas bagaimana kejadian sebenarnya, saya ingin berbagi beberapa pasal dalam undang-undang dan peraturan menteri kesehatan yang melarang rumah sakit meminta uang muka dalam keadaan darurat.

Diawali dengan Undang-Undang Rumah Sakit sebagai regulasi tertinggi khusus rumah sakit. Pada Pasal 29 ayat 1 huruf c menyatakan setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Pada pasal yang sama pada huruf f ditegaskan bahwa kewajiban rumah sakit juga melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin dan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka.

Bahkan berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Bagaimana dengan peraturan yang lebih rendah? Dalam Permenkes 378 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta secara tegas dinyatakan bahwa pelaksanaan fungsi sosial rumah sakit swasta yang wajib dilaksanakan, diantaranya dengan pelayanan gawat darurat dalam 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka tetapi mengutamakan pelayanan (Pasal 2 ayat 1 huruf d). Kemudian di dalam Permenkes 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit mengatur jenis pelayanan, indikator dan standar untuk gawat darurat, diantaranya: tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka.

Selain pada peraturan yang mengatur Rumah Sakit secara umum, ketentuan tidak diperbolehkannya meminta uang muka dalam keadaan darurat ini juga diatur pada peraturan yang mengatur RS Khusus Gigi Mulut dan Klinik yaitu Permenkes 1173 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut yang menyatakan bahwa setiap RSGM wajib melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk (diantaranya) tidak memungut uang muka bagi pasien yang tidak sadarkan diri dan atau pasien gawat darurat (Ps. 30 huruf c). Dan terakhir dalam Pasal 25 huruf b, Permenkes 28 Tahun 2011 tentang Klinik menyatakan bahwa dalam memberikan pelayanan, klinik berkewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya tanpa meminta uang muka terlebih dahulu atau mendahulukan kepentingan finansial.

Pertanyaannya, seberapa patuh rumah sakit dengan peraturan-peraturan tersebut?