Tampilkan postingan dengan label bpjs ketenagakerjaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bpjs ketenagakerjaan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Juli 2014

, , , , , , , , , , , ,

JKN Ringankan Beban Ketika Sakit

Delvi bersedih, karena anaknya (Ridho, 5 bulan) menderita hidrocephalus. Ridho menderita hidrocephalus sejak lahir. Sebagai orang tua, Delvi dan suami, berupaya semaksimal mungkin mencari pengobatan kepada anaknya. Namun penghasilan dirinya yang seorang buruh pabrik garmen dan suaminya seorang sopir truk pengangkut pasir, tidak cukup membiayai pengobatan anak kesayangannya itu.

Delvi bercerita, Ridho sudah pernah melakukan pengobatan di sebuah rumah sakit di Bogor. Sekali pengobatan, Delvi merogoh kocek hingga Rp 1,4 juta. Belum sembuh, Delvi mencoba ke pengobatan alternatif. Hasil tetap nihil, namun uang sudah terkuras habis.

Delvi tidak menyerah. Delvi membawa Ridho ke RSUD Bekasi dengan harapan mendapat biaya yang lebih murah. Atas saran dokter yang merawat Ridho, Delvi pun mendaftar menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di kantor BPJS Kesehatan terdekat. Delvi mengaku tidak merasa kesulitan dalam membuatnya. Prosedur yang dijalani tidak dirasa rumit. Tak perlu memakan waktu lama, kartu JKN selesai diurus. Ridho pun dapat ditangani di RSUD Bekasi.

"Awalnya saya pikir akan rumit urus BPJS. Karena lihat di berita katanya susah. Tapi demi anak saya ya saya coba. Ternyata tidak kok. Saya tidak merasa kesulitan waktu mengurus JKN," ujarnya (Kompas, 4/5/2014).

Bagi Delvi, JKN telah menjadi penolong bagi anaknya yang sakit. JKN adalah jalan keluar kesembuhan anaknya. Ridho menjalani operasi hidrochepalus di RSUD Bekasi. Menurut Delvi, semua itu memakan biaya ratusan juta. Dirinya merasa bersyukur karena keseluruhan biaya sudah ditanggung program bantuan JKN yang diselenggarakan Pemerintah melalui BPJS Kesehatan.

"Kalau tidak ada JKN, saya tidak tahu dapat uang untuk Ridho dari mana. Ini sekarang saya paling hanya keluar uang operasional sehari-hari aja," ujar Delvi (Kompas, 4/5/2014).

Itulah kisah perjuangan Delvi dalam mengupayakan kesembuhan anaknya dengan biaya pengobatannya ditanggung JKN. Tidak hanya Delvi, siapapun termasuk kita, akan berpendapat bahwa biaya pengobatan itu mahal. Apalagi jika penyakit yang diderita termasuk penyakit yang telah memasuki stadium lanjut atau penyakit yang sulit disembuhkan. Jangankan orang tak mampu, orang kaya pun bisa miskin karena sakit yang dideritanya. Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?
JKN untuk Seluruh Rakyat Indonesia

Sakit merupakan kejadian yang tak pernah bisa diduga. Sakit bisa datang ketika kita masih produktif dan berpenghasilan cukup. Namun sakit juga bisa disaat ketika kita tak lagi produktif, tidak cukup penghasilan. Singkat kata, sakit tak memandang orang kaya, orang cukup atau orang miskin. Dalam demikian, bagaimana dalam kondisi sakit kita bisa memperoleh pengobatan dan pelayanan kapan saja dan dimana saja?

Ya, kita memerlukan Jaminan Kesehatan. Dengan Jaminan Kesehatan atau asuransi kesehatan mengurangi risiko menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri (out of pocket), dalam jumlah yang sulit diprediksi bahkan sering kali jumlahnya sangat besar. Namun tidak setiap orang mampu dan mau ikut asuransi kesehatan. Mengapa demikian? Pertama, premi asuransi kesehatan komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau sebagian besar masyarakat. Kedua, manfaat yang yang ditawarkan umumnya terbatas.

Oleh sebab itu, Pemerintah mengeluarkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai 1 Januari 2014. Berbeda dengan asuransi kesehatan komersial, JKN merupakan asuransi kesehatan sosial dengan banyak kelebihan. Pertama, iuran relatif terjangkau bagi setiap orang. Bahkan bagi penduduk miskin, iurannya ditanggung oleh Pemerintah. JKN dijalankan dengan prinsip gotong royong. Ini berarti bahwa peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit, atau sakit berisiko tinggi.

Kedua, JKN memberikan manfaat yang komprehensif dengan iuran terjangkau. Setiap peserta JKN memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai kebutuhan medis.

Ketiga, JKN menerapkan prinsip kendali mutu kendali biaya. Itu berarti peserta JKN dapat memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan biaya yang wajar dan terkendali. Keempat, JKN menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelelanjutan). Kelima, JKN menganut sistem portabilitas sehingga peserta JKN dapat menggunakannya kartu JKN untuk berobat antar fasilitas kesehatan dan antar daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Oleh karena itu, untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia, kepesertaan JKN bersifat wajib bagi setiap orang penduduk Indonesia dan warga negara asing yang bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia.

 

Sabtu, 11 Januari 2014

, , , ,

Yang Benar, Kartu BPJS atau Kartu JKN?

Apakah anda pernah memegang atau melihat kartu BPJS/JKN? Kartu yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan itu sebagai tanda atau bukti bahwa si pemiliknya adalah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kartu tersebut dominan warna putih sekaligus sebagai warna dasar kartu dengan warna tulisan hitam. Di selingi blok warna hijau dan biru dengan logo BPJS Kesehatan, JKN dan bendera merah putih. Untuk lebih jelasnya, kita bisa dengan mudah meng-googling-nya.

Mari dengan seksama kita perhatikan desain kartu yang bertuliskan "Kartu Identitas Peserta" ini. Barangkali tidak salah, namun sepertinya tidak tepat. Pada bagian kiri atas terdapat logo BPJS Kesehatan dengan ukuran besar dan warna biru hijaunyang mencolok. Sementara itu di tengah atas terdapat logo JKN dengan ukuran lebih kecil dengan hanya satu warna yaitu hitam. Padahal warna asli logo JKN adalah hijau dan biru. Dengan ukuranya 4x lebih pendek dibandingkan dengan panjang logo BPJS Kesehatan, dibawah logo terdapat tulisan "Jaminan Kesehatan Nasional" yang nyaris tak terbaca. Sedangkan paling kanan atas, terdapat gambar bendera merah putih yang ukurannya tak berbeda jauh dari logo JKN.

Dengan desain dan layout kedua logo; BPJS dan JKN yang sedemikian itu, sangat wajar jika banyak rakyat dan publik menyebutnya sebagai Kartu BPJS. Mengapa tidak disebut Kartu JKN? Mari kita ulas sedikit.

Dilihat dari cara pandang sistem, maka jaminan sosial yang diberlakukan di Indonesia menurut perintah Undang-Undang adalah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang didalamnya terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagai sebuah sistem, JKN terdiri dari subsistem-subsistem seperti peserta, fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Rumah Sakit dan Puskesmas, pembiayaan, provider penyelenggara/pelaksana (BPJS Kesehatan), regulasi dan lainnya. Secara sederhana, kartu yang dipegang peserta calon pasien ini merupakan perwujudan dan manifestasi dari sistem JKN.

Dilihat dari sudut pandang branding dan awarness, hal ini tidak menguntungkan JKN sebagai suatu sistem dan program. Secara konsep, desain layout kartu ini menyampaikan pesan bahwa JKN sebagai sebuah produk barang atau jasa dari BPJS Kesehatan. Dengan kata lain, makna JKN sebagai sistem besar dimana BPJS Kesehatan sebagai subsistemnya, malah terkesal kerdil akibat desain kartu yang tidak tepat.

Kartu Identitas Peserta ini nantinya setiap saat dipegang seluruh rakyat Indonesia. Secara sadar atau dibawah alam sadarnya, kartu ini akan menuntun dan membangun pola pikir dan persepsi masyarakat bahwa sistem jaminan kesehatan Indonesia adalah BPJS Kesehatan, bukan JKN. Secara linier, brand BPJS lebih kuat daripada JKN. Percaya atau tidak, jika ini dibiarkan akan berdampak secara luas pada program dan sistem SJSN.

Desain dan layout Kartu Identitas ini seakan memperkukuh kesan ego sektoral yang begitu kuat menghinggapi kelembagaan pemerintahan Indonesia. Adalah benar bahwa JKN itu identik Kemenkes. Meskipun sebenarnya JKN itu gawean nasional yang digawangi Kemenko Kesra. Tidak salah bahwa kartu ini diterbitkan BPJS Kesehatan. Tetapi tidak serta merta bisa disebut Kartu BPJS. Namun demikian, ketika disebut Kartu JKN akan menguntungkan Kemenkes dan merugikan BPJS Kesehatan sebagai pencetak. Kartu ini bukan sekedar kertas dilaminating tanpa makna. Pada kartu identitas peserta ini terkandung pesan dan media sosialisasi yang ampuh tentang sistem jaminan kesehatan di Indonesia.

Sekali lagi yang harus digarisbawahi JKN ini bukan hanya milik Kemenkes, JKN itu program dan sistem jaminan kesehatan yang berlaku nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita semua, BPJS, Kemenkes, stake holder lain dan subsistem lain bernaung dalam sebuah sistem SJSN yang didalamnya ada JKN. Mari hilangkan ego kita. Mari kita lepaskan baju apa pun yang kita pakai; baju BPJS, Kemenkes, atau baju lainnya. Kemudian kita ganti baju, memakai baju baru yaitu JKN. Oleh sebab itu, sebaiknya kartu ini dinamai dan lebih tepat populer sebagai Kartu JKN.