Tampilkan postingan dengan label Public Relations. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Public Relations. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Januari 2013

, , , , , , , , ,

Karena Jokowi, Blusukan Jadi Brand, Keren dan Populer

Siapa yang belum pernah mendengar istilah "blusukan"? Boleh jadi, "blusukan" menjadi kosa kata paling populer saat ini. Adalah Joko Widodo, atau lebih akrab dipanggil Jokowi, orang yang mempopulerkan istilah blusukan. Pada saat melakukan kampanye pilkada dulu, Jokowi rajin keluar masuk pelosok kampung hingga ke pinggiran kota. Perkampungan kumuh di bantaran kali yang rawan banjir hingga kampung nelayan yang identik dengan kemiskinan tak luput ditelusupi Walikota Solo ini. Dari tindakannya keluar masuk kampung ini, Jokowi menyebutnya sebagai blusukan.

Seiring dengan semakin seringnya Jokowi menemui dan berdialog langsung dengan wong cilik ini, semakin populer pula istilah blusukan. Bisa dikatakan Jokowi menjadi identik dengan blusukan. Atau sebaliknya, kalau menyebut blusukan akan diasosiasikan dengan Jokowi. Meminjam istilah public relations atau marketing, Jokowi sudah menjadi brand terkenal yang sedang memimpin pasar (market leader). Sehingga apapun "produk" Jokowi, akan diikuti, ditiru dan dijiplak "kompetitornya"

Demikian juga blusukan telah menjadi ikon dan karakteristik pemimpin yang merakyat sekaligus mengambil hati rakyat. Berbeda dengan baju merah kotak-kotak hitam yang merupakan brand iconik yang bersifat trend sesaat. Blusukan dapat menjadi media branding yang tidak terlalu kentara pencitraannya. Sebaliknya kesan pemimpin merakyat, turun di lapangan, egaliter dan mau mendengar wong cilik begitu kuat. Disinilah kemudian para politikus atau bakal calon pejabat negara/daerah berusaha mencitrakan dirinya layak dipilih menjadi pemimpin dengan cara blusukan.

Bisa dikatakan blusukan Jokowi telah mengalahkan hegemoni dan konglomerasi partai politik yang mendukung Gubernur Jakarta incumbent waktu itu. Blusukan telah menghancurkan kampanye masif dan vulgar yang disokong dana yang sangat besar. Blusukan, perwujudan sikap bersahaja, jujur, apa adanya, banyak kerja sedikit bicara dan rendah hati dari Jokowi. Blusukan identik dengan kepolosan "wong ndeso" yang berhasil menaklukan angkuhnya kota metropolitan. Tentu saja "resep masakan ndeso" blusukan ini akan dipakai oleh mereka untuk mengejar hal sama yang dicapai Jokowi.

Ibarat sebuah brand dan market leader bahwa blusukan itu Jokowi, maka siapa pun dia, politikus dan bakal calon pejabat, melakukan blusukan akan dikatakan meniru Jokowi. Tetapi mereka tak peduli, meski sadar sekedar ikut-ikutan, tetapi bukan politikus kalau tak pandai bersilat lidah. Apalagi faktanya, sejak dulu blusukan (dengan berbagai istilah dan variannya) sebagai "resep murah" menjadi pemimpin. Maka ketika ada yang orang blusukan kemudian diasosiasikan dengan Jokowi akan punya kilah.

Seperti halnya Presiden SBY yang belum lama ini blusukan ke sebuah kampung nelayan. Orang-orang istana dan lingkarannya kebakaran jengkot ketika SBY dicap meniru Jokowi. Sejak sebelum presiden, SBY sudah blusukan, begitu kilahnya. Itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Orang-orang lingkaran istana ini lupa bahwa sekarang blusukan itu "milik" Jokowi. Mereka tak mengerti bedanya blusukan (yang asli) Jokowi dengan blusukan SBY. Mereka tak ingat kalau setelah jadi Gubernur, Jokowi tambah rajin blusukan, sedangkan SBY duduk enak dan bernyanyi sambil main gitar setelah menjadi presiden. Dapat dilihat bahwa SBY yang "ahli pencitraan" pun tak berkutik ketika merebut brand blusukan dari Jokowi. Dan puncak dari rebutan "siapa pemilik blusukan" sebenarnya ditandai dengan "pukulan telak" dari Jokowi yang mengatakan bahwa Presiden SBY lebih dulu blusukan.

Bagi mereka yang memahami falsafah Jawa, Jokowi telah melancarkan jurus "nglulu", yaitu merelakan dan mendorong orang lain dengan kemauannya sendiri. Justru dengan mengakui Presiden SBY lebih dulu blusukan, maka sesungguhnya Jokowi telah memenangkan pertarungan. Sikap Jokowi yang rendah hati dengan pengakuan itu justru memperkukuh brand Jokowi atas blusukan.

Disadari atau tidak, blusukan menjadi keren saat ini. Siapapun dia yang melakukan kunjungan langsung ke daerah atau kampung akan senang dan bangga disebut blusukan. Bahkan kunjungan biasa saja kalau perlu disebut blusukan. Jangan heran jika banyak bakal calon pejabat ingin disematkan blusukan pada setiap aktivitasnya. Silahkan saja SBY, Prabowo, Aburizal Bakrie, Surya Paloh atau siapa pun melakukan dan mengklaim blusukan, tetapi hanya Jokowi yang punya orisinalitas blusukan.

Bisa dikatakan sekarang blusukan menjadi gaya hidup yang keren. Blusukan yang awalnya mengesankan ndeso dan kampungan itu saat ini terlihat keren dan populer. Dan itu karena sebuah brand, Jokowi!

Minggu, 30 Desember 2012

, , , , , , , , , ,

Belajar dari RSAB Harapan Kita

Seorang bocah penderita leukimia, Ayu Tria meninggal dunia, karena terlambat menjalani kemoterapi di RS Harapan Kita (Harkit) Jakarta. Bocah itu, terlambat menjalani kemoterapi karena ruang ICCU rumah sakit tersebut dipakai syuting film Love in Paris hingga larut malam.

Inilah kutipan judul berita tanggal 27 Desember 2012; ICCU Dipakai Syuting, Pasien RSAB Harapan Kita Meninggal Dunia . Apa persepsi kita ketika membaca judul dan isi berita diatas? Bahwa adanya syuting menjadi penyebab kematian pasien. Itulah opini yang dibentuk berita itu. Ada ratusan berita online yang sama dalam 1 hari itu. Kemudian berita itu disebarluaskan pembacanya melalui media sosial terutama twitter. Terjadilah penyebaran berita secara viral, masiv dan cepat tanpa terbendung. Hanya dalam tempo tak lebih 2 jam sejak berita itu muncul, RSAB Harapan Kita menjadi kelimpungan dan bulan-bulanan. Dari sudut pandang kehumasan (public relations), RSAB Harapan Kita mengalami krisis komunikasi kehumasan atau PR Crisis yang berakibat rusaknya citra dan reputasi.

Tingkat Kerusakan Citra

Kerusakan Tingkat I dimulai saat terbentuk opini buruknya pelayanan RSAB Harapan Kita. Opini buruk yang awalnya dari media online ini, kerusakannya atas citra rumah sakit semakin kukuh setelah tersiar melalui radio dan televisi.

Tak cukup sampai disini, awak media meminta komentar para publik figur dan pihak-pihak yang berwenang. Dari DPR, DPRD, pejabat pemerintah, artis, YLKI, KPAI, asosiasi perumahsakitan, dokter, LSM dan publik figur lain. Dengan mendasarkan berita-berita yang belum terverifikasi kebenarannya, mereka mengecam dan menyalahkan RSAB Harapan Kita atas meninggalnya pasien disebabkan syuting sinetron Paris in Love tersebut. Inilah Kerusakan Tingkat II.

Pendapat, komentar dan kecaman itu dilengkapi dengan tuntutan agar RSAB Harapan Kita mendapatkan sanksi/hukuman atas kelalaiannya. Atas dasar berita, selanjutnya logika berkembang bahwa rumah sakit melanggar aturan UU Rumah Sakit, UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya. Opini berkembang, RSAB bisa dituntut baik perdata dan pidana. Tekanan psikologis pun dilancarkan oleh berbagai pihak. DPR ancam memanggil pejabat rumah sakit, KPAI melayangkan surat teguran dan pengaduan, YLKI menyarankan pemecatan. Desakan agar Kemenkes harus memberikan sanksi berat. Fase ini saya sebut sebagai Kerusakan Tingkat III.

Seperti cerita sinetron Parif in Love yang syuting di RSAB Harapan Kita, dramatisasi pun berubah. Media mulai mengorek kekurangan dan keburukan rumah sakit. Tak ada yang lebih menyesakkan selain keburukan yang diceritakan orang dalam. Media mengais remah-remah dari karyawan RSAB guna mendukung opini bahwa kematian pasien itu akibat syuting. Oknum perawat yang terganggu dengan syuting, kelakuan kru film yang merokok sembarangan misalnya. Ada lagi bahwa syuting itu "mainan" oknum direktur dan uangnya masuk kantong sendiri. Terjadilah Kerusakan Tingkat IV pada fase ini. Kalau nanti sampai terjadi tuntutan perdata maupun pidana, bisa dikatakan itu Kerusakan Tingkat V. Semoga tidak terjadi.

Bangkit Disaat Krisis

Andai saja kita bisa tahu sebelum ini terjadi. Atau andai saja waktu bisa diputar ulang, kita bisa memilih skenario lain. Cari kambing hitam atau berargumen pembelaan lazim dilakukan. Tapi yang lebih penting dan utama dilakukan adalah apa yang kita lakukan pada saat menghadapi krisis komunikasi dan krisis humas seperti ini? Bagaimana kita bangkit?

Yang pertama kali harus segera dilakukan adalah bentuk Tim Penanganan Krisis. Tugasnya identifikasi masalah dan tentukan langkah penanganan. Lebih kongkrit output segera yang harus dihasilkan adalah rumusan fact sheet, keypoint press release dan juru bicara. Direktur rumah sakit harus memimpin langsung tim krisis ini.

Penting pula dilakukan adalah lokalisir masalah. Sediakan ruang dan waktu awak media untuk mengakses informasi dengan mudah dan nyaman. Menghindari wartawan bukanlah langkah bijak, sebaliknya akan memperburuk keadaan. Yang terbaik; hadapi, berikan informasi terukur oleh orang yang kompeten dan waktu yang tepat. Ingat pada postulat, the a real PR is a top management.

Klarifikasi dan hak jawab atas pemberitaan yang salah juga harus dilakukan dengan santun. Hindari sikap dan jawaban arogan dan sok benar sendiri. Apalagi sikap tak peduli dan remeh kepada publik apalagi media massa dan media sosial. Ini bisa jadi bumerang. Apalah arti keunggulan rumah sakit berikut fasilitasnya kalau reputasi dan citra terpuruk. Tak ragu menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyaman pelayanan bukanlah selalu wujud pengakuan dosa. Dalam dunia pencitraan, peran mengalah seringkali berhasil membawa kemenangan dalam menunjukan kebenaran.

Dalam dunia humas, krisis komunikasi tidak melulu dipandang sebagai kemalangan semata, tetapi sebagai positioning awareness. Disaat itu bisa jadi momentum tepat perubahan dan akselerasi perbaikan internal. Krisis humas juga bisa jadi peluang bagi rumah sakit yang mampu mengelolanya. Terlepas dari bagaimana kasus sebenarnya terjadi, semestinya kasus RSAB Harapan Kita menjadi pembelajaran sangat berharga bagi rumah sakit lain. Kita menjadi belajar mengerti bagaimana perilaku media dan harus seperti apa menanganinya.

Untuk RSAB Harapan Kita, masih ada pekerjaan rumah yang juga besar setelah kehebohan ini yaitu recovery dan titik balik. Semoga berhasil.

Minggu, 18 November 2012

, , , , , , , , ,

Apakah Bosmu adalah Humas yang Baik?

The real Public Relations is a person who on the top management. Sesungguhnya Humas adalah orang yang memiliki jabatan tertinggi dari organisasi. Begitu jargon yang pernah saya baca. Demikian juga mantra yang sering saya ucapkan di setiap kesempatan.

Jika bos besar kita selalu tampil baik di mata publik maka bercitralah positif organisasi kita. Kalau pimpinan kita termasuk media darling, maka naik daun pula unit kerja kita. Demikian pula, pada organisasi kesehatan, misalnya rumah sakit.

Saya ingin berbagi cerita. Sebuah pengalaman yang sebenarnya membuat saya malu kepada pimpinan. Lebih malu lagi kepada diri sendiri. Tetapi dari kejadian ini, saya dapat mengambil hikmahnya; inilah pemimpin yang melaksanakan fungsi kehumasan (Public Relation) dengan sangat baik.

Awal bulan ini, saya mendampingi pimpinan seorang pejabat Eselon 1, Direktur Jenderal. Beliau menghadiri sebuah event/forum internasional dihadiri investor asing yg diselenggarakan sebuah bank dengan jaringan internasional. Beliau "hanya" sebagai peserta. Sengaja kata hanya diberi tanda kutip, karena biasanya se-level Dirjen menjadi narasumber.

Dari beberapa kali menemani panitia menemui beliau, Pak Dirjen menganggap ini forum penting dan strategis. Jadi saya yakin alasan itulah yg mendorongnya hadir meski "hanya" sebagai peserta. Sejujurnya sih, saya belum pernah melihat Pak Dirjen "hanya" duduk diantara peserta forum, selain saat dampingi Menteri atau Pejabat Negara lain. Minimal kalau jadi peserta ya peserta aktif, bukan sebagai undangan biasa. Di sini, saya melihat kebesaran hati dan kejeliannya melihat prioritas. Hadirnya beliau diantara investor asing dan pembicara top dari dalam dan luar negeri akan membangun kepercayaan terhadap sektor kesehatan.

Pada saat coffee break setelah pembukaan, ternyata banyak peserta healthcare forum mendapat penjelasan lebih detil dari Pemerintah. Sebenarnya ini sudah direncanakan. Istilah panitia, one on one meeting (intimated meeting). Melihat tak ada staff teknis yang hadir pada forum itu, beliau langsung menuju ruangan yang yang sudah disediakan panitia.

Ternyata diruangan sudah banyak para peserta forum yang sebagian besar investor asing menunggu penjelasan detil. Pak Dirjen melayani satu per satu "tamu" yg ingin bertanya dan konsultasi. Seperti "penjaga stand" pameran yg melayani setiap pengunjungnya.

Pak Dirjen sendirian melayani tamu. Saya adalah humas yang notabene stafnya Dirjen. Sebenarnya masalah regulasi masih bisa meng-handle-nya. Tetapi saya dan juga ajudan hanya bisa membantu mempersilahkan tamu duduk dan meminta menunggu antrian. Kenapa demikian? Barangkali para tamu menganggap, buat apa ketemu stafnya kalau dengan bosnya pun bisa. Anda bisa bayangkan?

Kira-kira 2 jam, Pak Dirjen melayani dengan sabar "pengunjungnya". Kenapa sabar? Ya karena setiap tamu tidak dibatasi berapa lama konsultasi. Padahal saya tahu persis jadwal beliau hari itu padat sekali. Saya berbisik kepada ajudan, mestinya yang duduk melayani pertanyaan dan konsultasi peserta forum itu adalah saya. Atau staf lain yang menguasai. Hal ini seharusnya bisa dikerjakan level staf. Tetapi karena tak hadir staff teknis, Pak Dirjen yang harus turun tangan sendiri.

Disinilah kemudian saya ambil hikmahnya bahwa Pemimpin yg baik tidak saja harus mampu memberi arahan, instruksi dan keputusan tetapi juga mengerjakan dengan tuntas ketika bawahan tidak ada. Meskipun sebagai humas, saya mampu menanganinya tetapi Public Relations yang dicari adalah pemimpin tertinggi. Dan saya bersyukur mempunyai bos besar yang memberi teladan bagaimana menjadi PR yang baik.

Jadi, jangan pernah berkecil hati meskipun humas sebagai juru bicara rumah sakit tapi tak didengar. Karena suara sesungguhnya yang dinanti adalah Direktur. Nah, kalau Direkturnya tak juga tampil, berikan sarankan baik-baik. Ingatkan Direktur bagaimana menjadi Humas yang baik.

Jumat, 16 November 2012

, , , , , ,

Humas Hanya Kliping Koran ya?

Saya sudah bersiap berdiri dari kursi ketika datang tamu dari rumah sakit. Ia adalah pejabat humas dari sebuah rumah sakit khusus di Bogor. Dengan besar hati, saya beri pengertian si perut bersabar untuk menunda makan siangnya.

Eh, kenapa harus ditunda? Sekalian saja, saya ajak ke kantin sang tamu. Siang itu, kantin masih sangat ramai. Kami pun ambil duduk di pojok kantin dekat warung tongseng dan es kelapa muda. Agar mempermudah, ya sekalian menu makan siangnya; tongseng kambing plus es kelapa muda murni, tanpa gula. Cocok nggak ya?

Tanpa basa basi lagi, tamu saya yang pejabat humas tadi berkeluh kesah. Apalagi kalau tidak terkait kehumasan rumah sakitnya. Berat juga nih, begitu batin saya. Ditambah pesanan juga belum siap saji, makin kurang konsentrasi.

Dia curhat tentang unit humasnya yang tak diperhatikan. Dicuekin dan tak dianggap ada. Nggak penting lah. Ruangannya dipojok bangunan dekat tangga. Jangan tanya fasilitasnya deh. Pemenuhan sarana dan perlengkapan humas dilakukan jika unit lain sudah tak perlu pengadaan. Kalau belum rusak ya setelah alat kesehatan terbeli.

Itu belum seberapa. Staf humas ditempatkan orang-orang sisa. Kasarnya, pegawai yang tak dibutuhkan unit lain, alias "buangan". Secara masa kerja sudah senior, malah beberapa tinggal nunggu pensiun. Lupakan persepsi bahwa staf humas seperti public relations di kantor swasta yang maju. Muda, cantik, rapi dengan tutur kata yang enak didengar.

Tamu saya ini terus bercerita tanpa titik. Jangan-jangan dia sudah makan dulu ya, jadi energinya masih penuh. Dan saya berusaha fokus mendengar. Resiko jadi tempat curhat ya begini.

Sekarang bicara pekerjaan rutin. Humas rumah sakitnya tiap pagi kliping koran, itu kalau ada berita menyangkut rumah sakit. Kalau tidak ada, pegawai hanya baca saja. Tugas lain, menghadapi wartawan dan LSM agar bosnya bisa menghindar atau syukur-syukur bisa kabur. Dan tugas paling sengsara adalah menyodorkan wajah untuk disemprot pasien atau keluarga yang mengadukan pelayanan rumah sakit.

Ah, syukurlah dia berhenti sejenak curhatnya ketika pesanan akhirnya datang. Saya meminta dia terlebih dahulu menikmati makan siangnya sebelum melanjutkan curhat. Di depan saya sudah tersaji sepiring nasi putih hangat, semangkok tongseng kambing dan segelas besar air kelapa muda tanpa es tanpa gula. Lupakan dulu masalah, saatnya nikmati makan siang.

Sekitar 10 menitan, menu makan siang saya sudah ludes. Kantin makin ramai saja. Suara bersahutan dan semakin bising. Terpaksa saya harus menaikan volume agar terdengar oleh tamu pejabat humas di depan saya. Sebelum dia melanjutkan berkeluh kesah, saya putuskan mendahuluinya berbicara.

Saya awali dengan pertanyaan, pernahkah humas rumah sakit tamu saya ini menunjukan kinerja terbaiknya? Prestasi apa yang humas dapat sumbangsihkan bagi rumah sakit? Tamu saya diam sejenak. Mungkin ragu menjawab. Atau bisa jadi memang belum ada kinerja dan prestasinya.

Kemudian saya sambung dengan kalimat inspiratif ala motivator diberbagai media. Jangan mengiba belas kasihan orang lain untuk menghargai sebelum kita sendiri belum mampu tunjukan betapa berharganya kita. Jangan harap orang lain memahami pentingnya kita, sementara kita sendiri tak mengerti untuk apa kita ada.

Agar lebih konkrit, saya memberikan sedikit saran. Kliping koran yang telah dibuat agar dilanjutkan dengan telaah berupa analisa dan saran solusi. Selanjutnya, telaah itu disampaikan kepada pimpinan dan tembusan ke unit terkait. Ini penting, agar mendapatkan feedback dan tindaklanjut.

Saran kedua adalah kuesioner pelayanan untuk menampung pendapat publik dari pasien, keluarga atau pengunjung. Setelah data terkumpul, diolah, dianalisa dan feedback.

Cukup 2 itu saja dulu. Lakukan dengan konsisten. Baru kemudian memikirkan langkah selanjutnya yang lebih berat. Yaitu bagaimana seharusnya menempatkan kedudukan dan peran humas rumah sakit.

Tak terasa waktu istirahat hampir usai, kami pun bergegas kembali ke ruang kantor untuk segera kembali bekerja.