Saya ikut mengisi nama yang diusulkan sebagai calon Menteri Kesehatan dalam "Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR)" yang diinisiasi oleh kelompok relawan "Jokowi Center". Harapan saya sih sederhana saja, siapa tahu nama yang saya usulkan benar menjadi Menkes. Saya punya keyakinan, haqul yaqin, orang yang saya usulkan mampu mengemban tugas dalam pembangunan kesehatan Indonesia. Alasannya sih (lagi-lagi) sederhana, saya tahu kelayakan dan kepantasan (fit & proper) yang bersangkutan.
Seketika tuntas mengisi KAUR, rasa puas berubah menjadi gamang. Apa hak saya ikut-ikutan memberi usulan kepada Jokowi-JK melalui Jokowi Center? Jangan-jangan kelompok relawan atau non relawan Jokowi-JK juga punya usulan dan proposal calon Menteri. Jika dalam KAUR saja ada ribuan orang usul, bagaimana ditambah dengan usulan lain. Weladalah, tak berselang waktu lama beredar nama calon Menteri ( termasuk Menkes) dari kelompok-kelompok lain yang konon dekat dengan Jokowi-JK. Kalau saya kumpulkan, banyak sekali nama-nama yang berterbangan sebagai calon Menkes. Muncul pikiran nakal saya, dari nama-nama yang muncul ini siapa ya yang ada dalam benak Jokowi? Sama nggak yang ada di pikiran JK? Atau jangan-jangan mereka punya nama selain yang diedarkan ini.
Diantara keriuhan nama-nama calon Menkes, suara "tolak si anu jadi Menkes" semakin kencang. Saya bisa rasakan penolakan itu secara langsung, juga melalui media sosial. Bahkan ada petisi "menolak si anu jadi menkes" yang nampaknya banyak disuarakan dari kalangan dokter.
Rasa gamang saat ikut mengusulkan KAUR tadi semakin menjadi rasa bersalah. Jangan-jangan saya sudah keluar dari batas hak semestinya. Jangan-jangan melalui usulan tadi terselubung maksud "menyodorkan dengan memaksa" Jokowi-JK memilih usulan itu. Tapi kan usulan itu boleh diterima atau ditolak. Nah, di posisi ini saya menjadi tenang. Sepanjang hanya usul, tidak bermaksud mendesak, memaksa kehendak apalagi menyetir kepada Jokowi-JK, rasanya sih asik-asik saja.
Saya yakin bahwa setiap orang yang punya usul calon Menteri tahu bahwa mengangkat Menteri (termasuk Menkes) itu hak prerogatif presiden. Jadi ya biarkan saja secara merdeka bebas pemaksaan kehendak, Presiden nantinya menggunakan hak prerogatifnya. Biarkan, beri kesempatan, Jokowi mengangkat Menteri pilihannya. Bukankah sewaktu mencoblos Jokowi karena percaya Jokowi memiliki kapasitas sebagai Presiden, termasuk mengangkat Menteri?
Dengan membiarkan Jokowi (-JK) mengangkat Menteri pilihannya secara bebas mandiri berarti memberi kesempatan pasangan ini membuktikan janji dan kapasitasnya nya kepada rakyat. Dengan kata lain, Kabinet Jokowi-JK adalah batu uji pertama pasangan presiden/wakil presiden pilihan rakyat. Dengan begitu rakyat bisa ngomong,"ini lho kabinet pilihan presiden kita". Jadi, Pak Jokowi, Pak JK, tolong abaikan saja usulan nama calon Menkes dari saya. Nanti jika sudah resmi sebagai Presiden/Wapres, monggo gunakan hak prerogatif secara bebas merdeka tanpa paksaan kehendak dari saya untuk tentukan pilihan yang menjadi Menkes. Toh, siapa saya ini. Nanti saya malah bingung njawab kalau Pak Jokowi nanya,"apa sampean nyoblos saya?" ;))
Hingga tulisan iseng ini saya posting, masih gegap gempita orang, termasuk kawan saya, mempetisikan "tolak di anu jadi Menkes". Disamping itu sibuk pula mempromosikan calonnya untuk jadi Menkes. Alasan kegigihannya menolak dan mengusulkan calon menkes, karena dia nyoblos Jokowi-JK. Dia dulu juga turut mengkampanyekan agar pilih Jokowi-JK. Jadi saat ini dia "merasa berhak" bersuara menolak calon menkes yang tidak kredibel dan juga memberi saran/usul calon Menkes. Saya jadi kepikiran begini; jika satu orang yang dulu mencoblos Jokowi-JK merasa berhak memberi usul/saran calon Menteri, bagaimana lagi dengan sponsor/donatur Jokowi-JK ya?
Ahh, sudahlah. Ayo biarkan Jokowi-JK mengangkat Menteri (termasuk Menkes ya) pilihannya. Ini ujian pertama!
Seketika tuntas mengisi KAUR, rasa puas berubah menjadi gamang. Apa hak saya ikut-ikutan memberi usulan kepada Jokowi-JK melalui Jokowi Center? Jangan-jangan kelompok relawan atau non relawan Jokowi-JK juga punya usulan dan proposal calon Menteri. Jika dalam KAUR saja ada ribuan orang usul, bagaimana ditambah dengan usulan lain. Weladalah, tak berselang waktu lama beredar nama calon Menteri ( termasuk Menkes) dari kelompok-kelompok lain yang konon dekat dengan Jokowi-JK. Kalau saya kumpulkan, banyak sekali nama-nama yang berterbangan sebagai calon Menkes. Muncul pikiran nakal saya, dari nama-nama yang muncul ini siapa ya yang ada dalam benak Jokowi? Sama nggak yang ada di pikiran JK? Atau jangan-jangan mereka punya nama selain yang diedarkan ini.
Diantara keriuhan nama-nama calon Menkes, suara "tolak si anu jadi Menkes" semakin kencang. Saya bisa rasakan penolakan itu secara langsung, juga melalui media sosial. Bahkan ada petisi "menolak si anu jadi menkes" yang nampaknya banyak disuarakan dari kalangan dokter.
Rasa gamang saat ikut mengusulkan KAUR tadi semakin menjadi rasa bersalah. Jangan-jangan saya sudah keluar dari batas hak semestinya. Jangan-jangan melalui usulan tadi terselubung maksud "menyodorkan dengan memaksa" Jokowi-JK memilih usulan itu. Tapi kan usulan itu boleh diterima atau ditolak. Nah, di posisi ini saya menjadi tenang. Sepanjang hanya usul, tidak bermaksud mendesak, memaksa kehendak apalagi menyetir kepada Jokowi-JK, rasanya sih asik-asik saja.
Saya yakin bahwa setiap orang yang punya usul calon Menteri tahu bahwa mengangkat Menteri (termasuk Menkes) itu hak prerogatif presiden. Jadi ya biarkan saja secara merdeka bebas pemaksaan kehendak, Presiden nantinya menggunakan hak prerogatifnya. Biarkan, beri kesempatan, Jokowi mengangkat Menteri pilihannya. Bukankah sewaktu mencoblos Jokowi karena percaya Jokowi memiliki kapasitas sebagai Presiden, termasuk mengangkat Menteri?
Dengan membiarkan Jokowi (-JK) mengangkat Menteri pilihannya secara bebas mandiri berarti memberi kesempatan pasangan ini membuktikan janji dan kapasitasnya nya kepada rakyat. Dengan kata lain, Kabinet Jokowi-JK adalah batu uji pertama pasangan presiden/wakil presiden pilihan rakyat. Dengan begitu rakyat bisa ngomong,"ini lho kabinet pilihan presiden kita". Jadi, Pak Jokowi, Pak JK, tolong abaikan saja usulan nama calon Menkes dari saya. Nanti jika sudah resmi sebagai Presiden/Wapres, monggo gunakan hak prerogatif secara bebas merdeka tanpa paksaan kehendak dari saya untuk tentukan pilihan yang menjadi Menkes. Toh, siapa saya ini. Nanti saya malah bingung njawab kalau Pak Jokowi nanya,"apa sampean nyoblos saya?" ;))
Hingga tulisan iseng ini saya posting, masih gegap gempita orang, termasuk kawan saya, mempetisikan "tolak di anu jadi Menkes". Disamping itu sibuk pula mempromosikan calonnya untuk jadi Menkes. Alasan kegigihannya menolak dan mengusulkan calon menkes, karena dia nyoblos Jokowi-JK. Dia dulu juga turut mengkampanyekan agar pilih Jokowi-JK. Jadi saat ini dia "merasa berhak" bersuara menolak calon menkes yang tidak kredibel dan juga memberi saran/usul calon Menkes. Saya jadi kepikiran begini; jika satu orang yang dulu mencoblos Jokowi-JK merasa berhak memberi usul/saran calon Menteri, bagaimana lagi dengan sponsor/donatur Jokowi-JK ya?
Ahh, sudahlah. Ayo biarkan Jokowi-JK mengangkat Menteri (termasuk Menkes ya) pilihannya. Ini ujian pertama!