Rabu, 27 November 2013

, , , , , , , , ,

Memahami Aksi Mogok Dokter Hari Ini

Sulit untuk tidak mengatakan sebagai mogok terhadap aksi solidaritas yang dilakukan dokter hari ini. Meski dibungkus dengan istilah bahwa dokter "Tidak Praktek" kecuali pasien gawat darurat (emergensi). Sulit pula menafikan pandangan awam yang menyamakan dokter seperti buruh, karena mogok kerja memang identik dengan buruh. Karena faktanya, berdasar seruan POGI, IKABI bahkan PBIDI, dokter se-Indonesia tidak melakukan praktek alias tidak layani pasien kecuali dalam keadaan darurat. Mungkin butuh keajaiban untuk membatalkan mogok para dokter ini.

Melihat aksi solidaritas dokter ini, mari kita semua melihat dari berbagai sisi pandang. Yang pertama, tentu dari cara pandang kedokteran. Meski tidak bisa orang awam, seperti saya, mampu melihat secara detil dan teknis medis. Namun secara prinsip, cara pandang dokter dapat jadi dasar pemahaman kenapa dokter lakukan aksi mogok ini. Selanjutnya kita lihat dari sisi proses hukum, kepentingan pasien dan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Sebagaimana sudah tersebar di media massa dan media sosial, aksi solidaritas ini dilatar belakangi kasus dr A dkk di Manado. Yaitu dr. A dan 2 rekan dokter lain diduga melakukan tindakan malpraktek saat melakukan operasi seksio sesaria pada persalinan seorang ibu pada tahun 2010. Pengadilan Negeri Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah (bebas murni), namun pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan Jaksa dengan menyatakan ketiga dokter bersalah melakukan malpraktek dan dipidana 10 bulan penjara. Sementara itu, para dokter berpendapat bahwa dr A dkk tidak bersalah, karena telah melakukan upaya pertolongan dan emboli sebagai penyebab kematian pasien merupakan bagian dari risiko medis. Nah ini menarik, mari kita cermati, mengapa dokter bisa berpendapat demikian.

Dalam hubungan dokter dan pasien disebut sebagai "fiduciary relationship", hubungan kepercayaan. Hubungan dokter pasien bersifat asymetry information, dimana dokter lebih mengerti kondisi kesehatan pasien. Disisi lain secara umum pasien tidak memahami atau awam terhadap tindakan medis. Dalam posisi seperti ini, tak ada pilihan lain kecuali pasien mempercayai dokter terhadap diagnosa dan tindakan dokter atas penyakit yang diderita pasien. Namun demikian, dalam melakukan praktek kedokteran, si Dokter juga dipagari oleh sumpah dokter, etika, disiplin dan hukum. Mentang-mentang posisinya lebih tahu dibandingkan pasien, tidak serta merta dokter dapat seenaknya dalam melayani pasien. Disinilah akhirnya, hubungan dokter-pasien terjadi hubungan kepercayaan. Pasien percaya bahwa dokter berupaya menyembuhkan penyakit. Dan dokter pun percaya bahwa pasien yang datang berobat kepadanya percaya terhadap upaya pengobatan dan perawatan yang dilakukan dokter.

Dalam hukum perikatan yang mengenal prestasi dan wanprestasi, hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintenis. Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik.

Nah, disinilah pokok persoalannya. Para Dokter berpendapat bahwa apa yang dilakukan dr A dkk itu telah sesuai prosedur dan standar. Ketiga dokter itu telah memberikan tindakan penyelamatan pasien (ibu dan bayi) dengan melakukan bedah caesar. Namun tindakan dokter hanya mampu selamatnya bayi, sementara sang ibu meninggal dunia. Sebab kematian adalah emboli udara, penyumbatan pembuluh darah oleh udara yang sebabkan kegagalan fungsi paru dan selanjutnya kegagalan fungsi jantung. Dalam kedokteran, emboli konon sulit diprediksi dan susah dicegah. Itu risiko medis bukan malpraktek.

Dengan tindakan dokter dan kondisi pasien seperti tersebut diatas, mengapa dokter masih dipersalahkan? Dokter berpandangan bahwa dr A dkk tidak salah, oleh sebab itu tidak semestinya dipidana/ditahan. Jika upaya dan tindakan dokter yang sesuai prosedur dan standar tetapi mengakibatkan pasien meninggal dunia namun tetap dipersahkan, itu sama saja dengan melakukan kriminalisasi dokter. Demikian pandangan dokter, oleh sebab itu mereka melakukan aksi tolak kriminalisasi dokter dengan menjadikan kasus dr ayu dkk di Manado ini sebagai momentumnya.

Para dokter beranggapan bahwa apa yang menimpa dr A dkk berdampak secara psikologis dan sosiologis bagi dokter lain. Para dokter akan menjadi ragu-ragu, khawatir dan tidak berani ambil risiko dalam melakukan tindakan pengobatan. Dokter akan cenderung cari aman, karena kalau melakukan tindakan medis yang beresiko tinggi ada kemungkinan dipidana. Jadi dokter menganggap terhadap tindakan kedokteran tidak dapat dikenakan hukum pidana, melainkan cukup perdata. Sebab, sekali lagi, dalam kedokteran dikenal risiko medis dan kejadian tak diharapkan dimana meski sudah dilakukan tindakan kedokteran sesuai standar masih saja ada kemungkinan pasien cidera atau meninggal dunia. Oleh karenanya dalam hal ini dokter tidak melakukan kesalahan sehingga tidak pantas dihukum pidana.

Selanjutnya, mari kita lihat proses hukum dr Ayu dkk ini. Pada tahun 2010, dr A dkk melakukan bedah caesar terhadap seorang ibu yang menjalani persalinan. Bayi dapat terselamatkan, namun paska operasi sang ibu meninggal dunia. Atas kasus ini, ketiga dokter diajukan di pengadilan dengan tuntutan hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. Tapi Jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.

Karena putusan MA tersebut, ketiga dokter masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak September 2012. Dan tanggal 8 November 2013, dr A ditangkap dan ditahan. Keberatan atas keputusan dan penahanan, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dari kronologi singkat ini, dapat dilihat bahwa proses hukum masih berjalan. Dokter atau dalam hal ini pembela dr A dkk, masih dapat kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dengan mengajukan bukti-bukti baru dalam Peninjauan Kembali.

Selain proses pengajuan PK, rupanya PB POGI didukung juga PB IDi merasa perlu menggalang solidaritas dan dukungan secara luas dari kalangan dokter. Maka diserukanlah yang disebut aksi keprihatinan solidaritas para dokter dengan berbagai cara. Dari memakai pita hitam di lengan kanan, doa/tafakur, penyampaian pendapat hingga tidak praktek/tutup layanan alias mogok kerja. Aksi solidaritas ini dikemas dalam kampanye "tolak kriminalisasi dokter". Pertanyaanya, dengan proses hukum yang sedang berjalan, apa urgensi aksi solidaritas dokter ini? Apa perlu sampai mogok kerja?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita bahas tentang mogok itu sendiri. Istilah mogok kerja dapat ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh untuk menghentikan atau memperlambat kerjaan. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh sebagai akibat gagalnya perundingan. Agar sah dan tertib, dalam UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat dan tahapan mogok kerja. UU Ketenagakerjaan juga melarang kegiatan mogok kerja yang membahayakan keselamatan jiwa manusia atau mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Ada yang berpendapat bahwa dokter tidak mogok, hanya tidak praktek. Dokter tidak mogok karena masih melayani pasien gawat darurat. Pertanyaan muncul didasarkan definisi mogok, aktivitas aksi dokter ini memperlambat atau menghentikan pelayanan kesehatan terhadap pasien nggak? Jika pasien yang datang ke tempat praktek dokter atau ke rumah sakit tidak mendapat layanan kesehatan, bukankah itu bisa dikatakan kepentingan umum terganggu? Pelayanan (kerjaan) dokter menjadi terhenti, bukankah menurut UU disebut mogok?

Ada lagi yang berpendapat, dokter bukan buruh, dokter itu profesi/profesional. Karena bukan buruh dan tidak ada serikat buruh dokter, maka UU Ketenagakerjaan tidak bisa berlaku untuk dokter. Baiklah, mari kita gunakan UU lain. UU Praktik Kedokteran mewajibkan dokter
memberikan pelayanan medis sesuai kebutuhan medis pasien. Kewajiban ini berlaku kepada dokter yang telah memiliki SIP serta dalam masa jam prakteknya, untuk semua pasien, tidak membedakan pasien elektif dan emergensi. Apalagi UUPK juga mewajibkan dokter melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.

Bahkan sumpah yang diucapkan setiap kali seseoran menjadi dokter begitu mulia. Sumpah dokter akan membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan. Dokter akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan ber­moral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan. Dokter akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita. Dan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, dokter akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.

Kemudian UU Rumah Sakit mewajibkan setiap rumah sakit memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien. Juga Rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai pelayanannya. UU Kesehatan mengamanatkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Rumah Sakit dan Praktik Mandiri, melakukan pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan dengan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya. Rasanya itu sudah cukup, belum lagi jika ditambahkan hak-hak pasien terhadap pelayanan kesehatan.

Ada lagi yang berpendapat bahwa dokter tetap memberikan pelayanan kepada pasien emergensi. Pak dokter! bu dokter! Mohon bayangkan diri anda adalah pasien itu sendiri. Gambaran Pasien secara umum adalah kondisi fisik lemah, kesakitan karena penyakit, kepayahan, dan perlu bantuan orang lain. Tegakah para dokter tidak menolong orang dengan kondisi demikian? Bagaimana jika anda pasien dengan kondisi sakitnya datang ke dokter dan mendapatkan tanggapan,"maaf, hari ini kami tidak praktek!"

Mari kita bicara fakta lain. Jamak kita temui dokter terlambat memberikan pelayanan dari jam prakteknya. Semestinya klinik buka jam 8, tapi dokter datang jam 9. Tidak jarang kita ketahui, di IGD pun dokter selalu siap ditempat. Lumrah kita dapati di ruang ICU, dokternya datang setelah dipanggil (on call) karena sedang praktek di tempat lain. Jika dalam jam praktek belum tentu dokter melayani tepat waktu. Jika dalam keadaan normal saja, dokter tidak selalu siap ditempat melayani pasien emergensi. Bagaimana dalam keadaan mogok kerja? Apakah pasti siap melayani pasien emergensi?

Dokter juga mengatakan bahwa kondisi pasien tidak mudah diprediksi. Pasien elektif bisa mendadak emergensi. Pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi sakit biasa, juga bisa mendadak harus segera ditolong. Bagaimana jika dalam kondisi itu, Dokter sedang bersama-sama aksi solidaritas atau sedang tafakur di rumah. Siapa yang menolong pasien?

Bagi setiap orang/pasien, dokter adalah "dewa penolong". Itu juga berlaku bagi keluarga, ketika melihat upaya sungguh-sungguh dokter dalam mengobati pasien. Bahkan ketika pasien itu meninggal dunia, keluarga pun akan ikhlas menerima sepanjang mereka menyaksikan upaya dan kesungguhan dokter selamatkan nyawa. Maka banyak ditemukan, anggota keluarga pasien yang marah atau menuntut dokter adalah keluarga yang tidak ada didekat pasien. Singkatnya, pasien dan keluarga akan menganggap dokter adalah pahlawan yang berusaha selamatkan pasien. Bagaimana jika karena dokter sering lakukan aksi bahkan mogok, masyarakat menganggap dokter juga seperti masyarakat biasa seperti lainnya. Dokter bukan lagi dianggap dewa penolong, melainkan anggota masyarakat biasa yang bekerja mencari uang sebagai dokter. Jika demikian, jangan salahkan banyak orang miskin yang tak punya uang memilih ke dukun atau pengobatan alternatif yang bertarif seikhlasnya.

Kita telah bicarakan dari dari sisi dokter, aspek hukum dan bagaimana pasien memandang dokter. Dari sekilas uraian ini, kita sangat hargai aksi solidaritas dokter dengan cara pakai pita hitam, doa keprihatinan dan tafakur. Kita harus tolak segala bentuk kriminalisasi, oleh sebab itu kita dukung "tolak kriminalisasi dokter". Tapi semestinya dokter tetap buka praktek dan melayani pasien baik elektif maupun emergensi. Dengan berpraktek, dokter bisa memakai pita hitam dan diawali dengan doa keprihatinan bersama. Siapa tahu dengan pita hitam, pasien bertanya-bertanya, tersadarkan dan berempati kepada dokter.

Alih-alih tujuan tercapai, mogok justru memperburuk citra dokter. Mogok bisa dipersepsikan wujud ego dan keangkuhan profesi dokter terhadap masyarakat lain meskipun di mata hukum semua sama. Istilah fikih, mogok mudharatnya jauh lebih banyak dibandingkan manfaatnya. Oleh sebab itu, energi aksi solidaritas lebih efisien digunakan untuk menyusun strategi dan mengumpulan bukti baru dalam proses Peninjauan Kembali. Semangat solidaritas profesi dokter dikristalkan dengan mengindentifikasi pasal-pasal Undang-Undang dan KUHP yang merugikan praktek dokter untuk diujikan materiil ke Mahkamah Konstitusi. Dan seluruh kekuatan aksi dokter ini bisa diarahkan kepada upaya mencerdaskan pasien sekaligus membangun hubungan dokter-pasien yang lebih komunikatif dan empatif.

Pada bagian akhir, kita sangat mendukung himbauan Kementerian Kesehatan agar aksi solidaritas dokter ini dilakukan dengan tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien seperti biasanya. Toh, untuk apa semua hal ini kita lakukan, selain derajat kesehatan rakyat Indonesia lebih baik.

20 komentar:

  1. keren postingannya eyang.. sangat informatif dan berimbang.. :)
    Semoga kebenaran di tegakkan dan semoga kejadian di manado juga menjadi sentilan kepada para dokter nakal untuk lebih berhati-hati dan mengingat kembali sumpah profesi mereka untuk memang menolong pasien.. ini himbauan untuk dokter2 nakal ya, eyang.. ;)

    BalasHapus
  2. Paragraf ketiga dari bawah tertulis, "Dari sekilas uraian ini, kita sangat Haryadi aksi solidaritas dokter dengan cara pakai pita hitam..." salah ketikkah ini, eyang? ^_^

    BalasHapus
  3. cerita tentang malpraktik memang banyak kisahnya sejak dulu. kita tak memungkiri adanya dokter yg nakal, teledor, dsb. sama seperti profesi lainnya. misalnya polisi. tidak semua polisi nakal. kita tahu ada polisi yg baik, tetapi tetap saja kebanyakan masyarakat memandang polisi dg beragam kesan buruk.

    sama halnya thd dokter. kita umumnya menganggap dokter berbayar mahal, dsb. kita cenderung menafikan mereka yg tulus melayani kesehatan masyarakat di pelosok negeri, melayani tanpa bayaran pantas, bahkan gratis.

    saya percaya, ada orang nakal, teledor, bodoh, dan licik. tetapi saya lebih percaya, lebih banyak dokter yg baik dan menolong.

    ah, belum kelar berkomentar... pesawatku sdh memanggil. sampai jumpa lagi nanti di medan/aceh

    BalasHapus
  4. Malpraktik saat ini kok semakin tinggi ya? Apa krn mmg fakta atau krn era keterbukaan. Saya curiga pendidikan kedokteran yg semakin tidak "selektif" turut berperan thd kenaikan tsb. Bagaimana tetangga sy yg saya kenal krg "layak" masuk Fak.Kedokteran, namun krn Ortu yg "berkecukupan" jd bisa "diupayakan" utk "layak". Pendidikan kedokteran hrs introspeksi atas kondisi tsb. Terminologi malpraktik pd dasarnya bkn terminologi dunia hukum, itu mrp terminologi dunia medis. Krn dianggap kelalaian yg menyebabkan hilangnya nyawa, minimal membahayakan jiwa manusia, maka masuk dlm ranah hukum. Krn itu pembuktikannya lbh pd unsur subyektifitas kesengajaan (kelalaian/kecerobohan). Jika mmg mampu dibuktikan adanya unsur kelalaian, maka ini yg dimaksud malpraktik. Jika tidak ada unsur kelalaian, maka itu masuk dlm kategori resiko medis. Kasus dr.A seharusnya lbh transparan mengedepankan aspek tsb. Supaya masy.tahu, siapa yg sebenarnya bersalah.

    BalasHapus
  5. Saya sih sederhana aja, kalo SOP dijalankan, tidak bakalan ada istilah malpraktek dan kriminalisasi. Pertanyaannya apakah dokter2 itu sudah menjalankan SOP nya dengan benar? Atau jgn2 malah gak ada SOP yg jelas.

    BalasHapus
  6. sangat berimbang dan Jernih... semoga para dokter bisa membaca ini dan menyadari...

    BalasHapus
  7. dokter itu mirip polisi. banyakan yang ga bener dibanding yang bener. yang jelas harga untuk sehat itu mahal, apalagi kalo pake jasa dokter.

    BalasHapus
  8. Bekerjalah sesuai protabnya, bekerja dgn SOP itu lebih baik dibarengi dgn niat yg tulus dan ikhlas.
    Dokter bisa memakai pita hitam dan diawali dengan doa keprihatinan bersama. Siapa tahu dengan pita hitam, pasien bertanya-bertanya, tersadarkan dan berempati kepada dokter.
    Jalin hubungan baik antara Tenaga medis dan Pasien (infomconsen)
    Kegagalan medis dan resiko medis
    *semoga kita semua masih mengingat saat melafalkan sumpah bakti profesi kita masing-masing

    BalasHapus
  9. hanya ada di indonesia dan baru pertama terjadi didunia dokter melakukan pelayanan medis berakhir di penjara

    BalasHapus
  10. sorry, infus orang aja ada sop nya mas/mbak. dari mulai mengenalkan diri sendiri, minta persetujuan pasien, siapin alat, cara mencari pembuluh ven, bersihin permukaan yang akan di infus, masukin jarumnya berapa derajat, setelah masukin harus cek apa. semua ada sop nya ya. silahkan kalau mau komentar, tapi jangan asal. di cek dulu kebenarannya, semua ada standar prosedurnya. jangan asal buka mulut, sorry no offense

    BalasHapus
  11. Saya ingin mengomentari bagian ini

    "Nah, disinilah pokok persoalannya. Para Dokter berpendapat bahwa apa yang dilakukan dr A dkk itu telah sesuai prosedur dan standar."

    Jadi senada dengan denkhentir, semoga kita semua tidak asal dalam berkomentar seperti yang disampaikan mas hadi.

    Saya kebetulan mengajar mahasiswa yang mengambil peminatan administrasi rmah sakit. saya pun membantu atau menjadi partner diskusi beberapa rumah sakit di bandung. Dan saya melihat langsung bagaimana wujud dari SPO (kalau dalam peraturannya tentang rumah sakit digunakan istilah SPO bukan SOP). Kesimpulan sementara saya, tidak semua SPO sudah didesain dengan baik. Jadi sangat mungkin apa yang dijalankan di rumah sakit belum mengikuti standar yang berlaku. Silakan survey ke teman2 yang pernah berkunjung ke rumah sakit dan menderita penyakit yang sama misalnya. belum tentu sama.

    Nah kebetulan pak anjari dari organnya depkes nih, mohon saya dishare, (japri juga boleh), saya lagi studi tentang clinical pathway. alhamdulilah belum ketemu sumber yang pas mengenai clinical pathway. padahal CP ini komponen yang sangat penting. Konsepnya ketika pasien datang, CP ini menjadi alat komunikasi antara dokter dan pasien. dengan itu pasien jadi tahu berapa lama nanti akan diobati, berapa biaya dsb. Apakah clinical pathwaynya sudah ada dan diikuti dalam kasus ini?

    saya tidak ingin memojokkan siapa2, percuma kalau kita mencari siapa yang salah. Tapi kita harus belajar dari kesalahan. keluarga harus ikhlas, dokter pun harus mawas diri. pemerintah pun harus berbenah kalau memang ada perangkatnya yang belum bekerja sempurna.

    BalasHapus
  12. Aksi solidaritas mmg penting, ketika ada nilai2 yg hndak ditegakkan atau ketika nilai2 kebaikan, keadilan dan kemanusiaan telah diinjak2.
    Aksi Solidaritas tanpa nilai adalah demokrasi yg salah kaprah.

    BalasHapus
  13. Indonesia banget lah, enggan dibilang salah atau lalai, meradang ke sana ke mari, padahal kalo ditelusuri lebih dalam pasti borok2nya banyak. SOP mungkin ada, mungkin tidak, ada tapi tidak lengkap, ada tapi seadanya, ada tapi tidak dipatuhi, dst. Intinya, membela yg benar jangan dengan cara yg salah, ujung2nya pasti salah. Dokter yg demo juga manusia, yg bisa pintar bisa goblok.

    BalasHapus
  14. intinya stop kriminalisasi buat dokter dan siapapun

    BalasHapus
  15. di luar negri banyak, mas.

    BalasHapus
  16. ya betul itu..makanya dalam kasus ini emboli udara yang menyebabkan kematian pasien dr A ini bukan karena proses operasinya tapi karena terlambat gantu infus...yang parahnya, tidak diketahui siapa yang mengganti infus pasien tsb...JANGAN ASAL NGOCEH..IT'S OFFENSE karena INI MENYANGKUT NYAWA SESEORANG..http://health.liputan6.com/read/753893/kejanggalan-dalam-kasus-dr-ayu-menurut-ypkki-apa-saja

    BalasHapus
  17. Siapapun tak dapat melawan seorang "Penyebuh".
    Bicara soal kesehatan, siapa yang tahan !

    walau ada beberapa istilah yg kurang dipaham, tidak mengurangi intisari akan pesan yg terurai sedemikian "cerdas".

    Pesan moralnya : Pasien dan dokter adalah Dua insan yg saling membutuhkan.

    Yang terbukti salah harus di hukum. Dan yg tidak pernah berbuat salah tak pantas di hukum.

    Saya pikir, semua profesi punya etika dan sumpah :O

    Secara pribadi : Hukuman dan acaman terhadap kriminalitas pantas bagi siapa saja.

    Gelar Dokter tidak salah tapi "Pelakunya".

    BalasHapus
  18. kompleks betul permasalahan ini mas, mungkin "penderitaan" dokter sebaiknya musti dituliskan, divisualisasikan agar masyarakat bisa memahami, masyarakat fahamnya kalau dijelasin lewat sinetron, novel dll.. Salam..

    BalasHapus
  19. Aksi tapi tetap memberikan pelayanan yang baik, itu baru top ya mas; bahkan, aksinya itu dalam bentuk pelayanan, wah salut tuh...

    BalasHapus
  20. [...] solidaritas dokter baru-baru ini) berjudul “Memahami Aksi Mogok Dokter Hari Ini” oleh Anjari (http://anjaris.me/memahami-aksi-mogok-dokter-hari-ini/). Saya paling suka dengan paragraf ini. “Bagi setiap orang/pasien, dokter adalah ‘dewa [...]

    BalasHapus